Saturday, April 20, 2013

Stella, Aku Hendak Merebut Kemerdekaanku

Dimuat pertama kali di Koran Tempo edisi 15 Agustus 2003, saat itu Koran Tempo masih berukuran bersar, sehingga tulisan ini pun bisa cukup panjang dimuat.

Dalam surat bertanggal 23 Agustus 1900, Kartini menulis surat kepada Stella Zeehandelaar: “Tiada berjuang tiada menang; aku akan berjuang, Stella, aku hendak merebut kemerdekaanku. Aku tiada gentar karena keberatan dan kesukaran.… Tetapi ada yang sungguh ku segani. Stella, sudah beberapa kali kuceritakan, aku sayang akan Bapak dengan segenap sukmaku…. Entah akan beranikah aku meneruskan kehendakku, bila akan melukai hatinya.”

Tak ada yang lebih meyakinkan dan penuh semangat selain bunyi dua kalimat pertama dari paragraf di atas. Parafrase “Aku hendak merebut kemerdekaanku” dan “Aku tiada gentar karena keberaratan dan kesukaran” seakan menjadi tiang pancang ke mana arah hidup dan perjuangan Kartini kelak hendak dilabuhkan.

Tapi, petikan surat Kartini di atas juga tidak bulat menyatakan tekad dan semangat. Di sana, ada semacam kesadaran ihwal sebuah batas yang tak bisa begitu saja ditenggang. Jika batas itu ditenggang, ia tahu akan kehilangan sesuatu yang selama ini menjadi permata hidupnya yang paling berharga: Sang Bapak. Karena itulah ia bimbang.

Masalahnya, kebimbangan atau keraguan yang mendera Kartini, tak cuma datang dari kecintaannya pada R.M. Sosroningrat, ayahnya, melainkan juga dari situasi-situasi historis yang kerap (berhasil) memaksanya untuk tidak bersetia dengan segala rencana yang telah dipancangkan sebelumnya


******
Kartini punya cita-cita untuk sekolah setinggi-tingginya, dan jika perlu hingga ke tempat yang sejauh-jauhnya. Lewat surat bertanggal 12 Januari 1900 yang ditujukan pada Stella, Kartini menyatakan, ”Pergi ke Eropa! Sampai napasku yang penghabisan akan tetap jadi cita-citaku.”
Untuk merengkuh mimpinya itu, Kartini mutlak beroleh restu dari bapaknya. Kartini bukan tak tahu kecemasan bapaknya. Cinta kepada sang bapak yang makin lanjut usia dan sakit-sakitan berkali-kali menimbulkan keguncangan dalam jiwanya. Kebimbangan yang berlarat-larat itu terpantul dalam kata-kata, “Aku tak bisa merasa tentram, bilamana dalam mengikuti panggilanku mengetahui ayah yang jauh dariku, sedang mendera sakit dan memerlukan perawatan.”
Melalui tafakur yang panjang dan khidmat, Kartini akhirnya tiba pada satu kata bulat. “Cita-cita kami sudah menjadi satu dengan hidup kami. Melepaskan itu, berarti kebinasaan bagi kami,” tulisnya dengan yakin. Melihat keyakinan yang sungguh bulat itu, tak ada yang bisa dilakukan R.M. Sosoroningrat. Dan sepucuk restu yang diharap-harap itu pun turun.
Di pengujung 1902, atas usaha Ir. van Kol, anggota parlemen Belanda, Kartini dan adiknya yang bernama Rukmini mendapat beasiswa untuk meneruskan sekolah ke negeri Belanda. Jalan Kartini tampak kian lempang saja. Tapi tidak dalam kenyataannya.
Petaka itu datang dari orang yang selama ini sudah ia anggap tak ubahnya orang tua sendiri: pasangan Abendanon. Seusai perjumpaan dan pembicaraan dengan pasangan Abendanon pada 24 Januari 1903, Kartini merobohkan impian yang sudah dianyamnya sejak kecil: pembatalan kepergiannya ke negeri Belanda!
Dalam pertemuan itu, Mr. Abendanon dan istrinya menyarankan agar Kartini membatalkan kepergiannya. Alasan yang diajukan pasangan Abendanon diantaranya keadaan ayahnya yang tua dan sakit-sakitan, situasi negeri Belanda yang bisa mendatangkan kesulitan hingga kemungkinan tidak diterima masyarakat karena akan dianggap sebagai noni Belanda.
Sitisoemandari Soeroto, dalam Kartini: Sebuah Biografi (2001: 261), menyebut bahwa yang membuat Kartini membatalkan kepergiannya adalah tawaran Abendanon untuk membantu dirinya mendirikan sekolah tanpa perlu menunggu ijazah. Sebagai pejabat tertingi di Hindia dalam bidang pengajaran, Abendanon juga berjanji akan mengusahakan beasiswa ke Batavia untuk Kartini dan Roekmini.
Inilah drama yang kelak ditangisi dan disesali Kartini. Malamnya, Kartini sama sekali tak mampu pejamkan mata. Penyesalan yang berlarat-larat itu bahkan membikinnya jatuh sakit sepanjang Februari 1903.
Pembaca surat-surat Kartini yang teliti pasti mengenal Kartini sebagai orang yang keras kemauannya, yang sadar betul akan tujuan hidupnya dan yang sukar sekali dibelokkan cita dan kemauannya. Mengapa ia begitu mudah terbujuk? Bukankah ia sendiri yang mengatakan bahwa sampai napas yang penghabisan, pergi ke Eropa akan tetap menjadi cita-citanya? Bukankah ia sendiri yang meramalkan bahwa melepaskan cita-cita itu berarti kebinasaan baginya?
Seperti yang akan kita lihat, melepaskan cita-cita sungguh-sungguh menjadi awal kebinasaannya. Sebuah kebinasaan dalam pengertian denotatif!
******
Pada Juni 1903, Kartini akhirnya berhasil mendirikan sekolah gadis di kota kelahirannya. Baru sebulan ia dikerkah kesibukkan sebagai guru, Kartini lagi-lagi dihardik oleh sebuah situasi yang memaksanya merumuskan ulang segala pendirian yang jauh sebelumnya telah ia pancangkan. Situasi kritis itu datang lewat sepucuk surat. Bukan sembarang surat, melainkan surat lamaran pernikahan dari Bupati Rembang, R.M. Adipati Joyoadiningrat. Ajaibnya, Kartini menerima lamaran itu. Kartini resmi melapas masa lajangnya pada 8 November 1903.
Pernikahan ini jauh lebih ajaib daripada pembatalan kepergiannya ke Belanda. Berkali-kali Kartini mengutarakan dalam surat-suratnya (baik kepada keluarga Abendanon, Ovink Soer maupun Stella) tekad bulat untuk tidak menikah. Simak kata-katanya yang sungguh telengas ini: “Kerja yang serendah-rendahnya maulah aku mengerjakannya dengan berbesar hati dan dengan sungguh-sungguh, asalkan aku tiada kawin, dan aku bebas!”
Kebencian Kartini pada institusi pernikahan bukan semata karena perempuan tidak akan bebas lagi begitu ia menikah, tetapi terutama karena faktor poligami. Kartini tahu benar sakit dan perihnya poligami karena ibundanya sendiri adalah korban poligami. Ia yakin, tak ada satu pun perempuan yang mau disakiti dengan poligami. Masalahnya, membenci dan mencerca poligami berarti ia juga harus berhadapan dengan bapaknya, pelaku langsung poligami. Bagaimana bisa Kartini membenci orang yang paling ia kasihi?
Sepanjang membaca surat-surat Kartini mulai Juli hingga Oktober 1903, saya tidak mendapat penjelasan yang memuaskan dari Kartini ihwal kemauannya menerima lamaran itu. Dalam kecamuk pikirannya, lagi-lagi muncul pertimbangan ihwal kesehatan bapaknya yang kain lama memang makin menurun.
Bisa jadi, Kartini terpukau oleh kabar ihwal progresif dan majunya R.M. Djoyoadiningrat itu. Barangkali, untuk meyakinkan dirinya sendiri, Kartini mengajukan (setidaknya) dua syarat. Pertama, Bupati Rembang harus menyetujui cita-cita Kartini. Kedua, Kartini diperbolehkan membuka sekolah dan mengajar seperti yang telah dilakukannya di Jepara. Dua syarat itu seketika dipenuhi R.M. Djoyoadiningrat.
Selain untuk meyakinkan dirinya, syarat yang diajukan Kartini bisa dipahami sebagai perlawanan terbuka Kartini yang terakhir terhadap institusi pernikahan, sekaligus penegasan kepada dunia bahwa di detik-detik terakhir menjelang pendirian kerasnya ihwal poligami hendak roboh, ia masih seorang yang liat dan tak mudah ditundukkan. Inilah saat di mana sisa-sisa “kegalakkan” seorang Kartini masih bisa dilihat secara telanjang. Sebuah perlawanan dan kegalakkan yang tentu saja tak cukup punya makna.
Saya curiga, jangan-jangan saat di mana Kartini menerima lamaran itu adalah titik di mana Kartini, pinjam kata-kata Sosiawan Leak dalam sajak Tragedi, “…hanya merasakan keheningan yang cekam, kesepian yang tajam, saat kilau sebilah pisau mantul risaumu, digenggam sosok berwajah kelabu.”
Sudah sejak dulu ia merasa sendiri. Segala maksud baiknya kerap dilecehkan justru oleh pihak-pihak yang mana pengorbanannya hendak ia labuhkan. Sepintas, Sang Bapak seperti menerima dan menyokong cita-cita dan pendirian Kartini. Tapi tidak sebagai sebuah keseluruhan. Di rumah, yang benar-benar mengerti dirinya hanya dua adiknya, Roekmini dan Kardinah. Sosorokartono, abangnya, terlampau jarang mereka bersua. Itulah sebabnya ia tekun menulis surat pada siapa saja yang mendengarkan dan mendukung keyakinannya. Di pundak Djoyoadiningrat-lah ia berharap bisa berbagi kesendirian, berbagi pendirian, dan saling menyokong cita-cita satu sama lain.

Pelan tapi pasti, gugusan pengalaman hidup yang penuh sedih dan gembira, pertentangan tanpa henti antara cita-cita dan kenyataan, pergolakan untuk berbakti pada orang tua atau bagi kaum dan masyarakatnya, berhasil memaksa Kartini untuk merumuskan ulang dirinya, cita-citanya, pendiriannya, termasuk segala hal ihwal yang sebelumnya ia anggap sebagai momok. Dalam rumusannya yang baru, sesuatu yang dulu dicap sebagai momok coba ia manfaatkan sebagai peluang. Pernikahan poligami yang ia terima adalah contohnya.
Setelah menjadi istri Bupati Rembang, hari-harinya tak ubahnya istri biasa: mengurus suami dan anak (tirinya). Terus begitu. Ia memang mendirikan sekolah, tapi tak seberhasil ketika di Jepara. Kisah hidupnya berakhir di sini. 13 September 1904 ia melahirkan anak yang dinamai Susalit. Empat hari kemudian, pada 17 September 1904, ia menghembuskan nafas terakhir akibat proses melahirkan yang tak mulus.
Seperti yang sudah ia ramalkan sendiri, melepaskan cita-cita memang benar-benar membikinnya “binasa”.
******


Kemerdekaan dan kebebasan memang mempesona, merawankan hati. Di sana terpacak sebuah harapan akan kehidupan yang jauh lebih baik. Tapi, kita semua tahu, kemerdekaan juga membawa konsekuensi-konsekuensi tak terduga yang mau tidak mau mutlak dihadapi. Konsekuensi itulah yang membikin orang yang telah bebas dan merdeka, terkadang rindu pada situasi di mana ia masih belum bebas, ketika ia belum merdeka. Inilah yang oleh Erich Fromm maksudkan sebagai “lari dari kebebasan”.

Alih-alih pergi sekolah ke Belanda, Kartini lebih memilih untuk menerima tawaran Abendanon untuk mendirikan sekolah tanpa harus menunggu punya ijazah guru. Kartini sama sekali tidak lupa pada semua cita dan impian yang dianyamnya sejak kecil untuk sekolah setinggi-tingginya. Ia memang lebih memilih mendirikan sekolah karena ia tahu, pergi ke Belanda akan mendatangkan konsekuensi-konsekuensi tak terduga yang mungkin tak pernah ia bayangkan.

Maka, membatalkan kepergian ke Belanda adalah blunder. Ia melepaskan begitu saja terbentangnya sebuah masa yang penuh dengan kemungkinan-kemungkinan yang tak terduga, yang sebenarnya ia bisa (seperti yang sebelumnya telah dengan baik ia lakukan) bekerja keras untuk memperjuangkan keyakinan dan mimpi-mimpinya. Tinggal di Jepara membuat medan kemungkinan itu menjadi kian sempit.

Puncak dari semua tragik Kartini terjadi saat ia menerima lamaran R.M Djoyoadiningrat. Dua pendirinnya yang paling liat (sekolah setinggi-tingginya dan anti poligami) roboh sudah. Ia terpesona dengan kemungkinan suaminya itu akan mendukung segenap cita dan keyakinannya. Ia leka. Lengah.

Padahal, ia tahu benar, begitu menjadi istri Bupati Rembang, ia harus mengurus rumah tangga dan mendidik enam anak tirinya. Ia memang diperbolehkan mendirikan sekolah. Tapi, sekadar mendirikan sekolah terlampau remeh untuk perempuan sebesar Kartini. Bukankah semasa gadis saja ia sudah mampu mendirikan sekolah?

Menarik jika kita sebut Fatima Mernissi. Pada seorang seorang bibinya, Mernissi kecil pernah bertanya di posisi mana dirinya berada. Seperti terpapar di paragraf terakhir memoir Mernissi, Dream of Trespass: Tales from Girlhood, sang bibi menjawab: “Jika kamu tidak dapat keluar rumah, kamu ada di pihak yang lemah.”

Kartini pada akhirnya memang ada di pihak yang lemah. Ia hanya anasir yang punya kecerdasan, keberanian dan tekad yang besar, di tengah kehidupan dan dunia yang masih terlampau perkasa untuk ditundukkan. Visi yang ditebarnya bergerak amat cepat, meninggalkan dunia tempat ia hidup yang masih bergerak dengan amat lambat.

Masalahnya, dunia itu hanya ada satu. Tidak bisa tidak, ia harus hidup di sana, sepahit apa pun itu. Maka, ketika ia menyadari bahwa dirinya sudah tak berjejak lagi di bumi, ia dengan pahit kembali pulang ke dunianya.

Memikirkan kepahitan itu, saya teringat Soe Hok Gie. Di catatan hariannya, Gie menulis: “Aku mungkin bukan lagi seorang idealis, melainkan seorang realis yang pahit.”

Kartini tahu ia tak akan berhasil. Tapi karena layar sudah ia bentangkan, cita sudah ia pancangkan, maka ia pun berusaha semampunya. Kartini dengan demikian menjadi prototipe manusia baru dari sebuah generasi yang terjepit. Sebuah generasi, pinjam kata-kata Sjahrir, “yang apabila diam akan menjadi generasi yang hilang, dan apabila bergerak akan menjadi generasi yang kalah.“

Peran dan kontribusi Kartini tentu tak tergantung dengan dengan tulisan ini yang menghadirkannya tidak sekemilau dan secemerlang yang biasa kita bayangkan tentangnya. Tulisan ini justru mencoba menghadirkannya sebagai manusia seutuhnya, manusia dengan cita-cita besar yang dipaksa sejarah untuk bertempur dengan berlaksa aral dan kesukaran.

Zaman ini memang layak memberinya sebuah standing ovation untuk sebuah “keyakinan yang dipercayai dan kemudian ia perjuangkan”, sekalipun ia mengerti betapa tak terpermanainya hambatan dan kesukaran yang kelak ia hadapi. Beberapa yang diupayakannya memang menuai hasil bagus, tapi jangan lupa, ia juga akrab dengan rentetan kegagalan dan kepedihan.

Inilah yang membuat saya dengan senang hati menghormati segala jerih-payah yang telah ditorehkannya; sebuah torehan kerja yang membikin Pramoedya Ananta Toer, dalam Panggil Aku Kartini Saja (2003: 14), memberinya predikat sebagai “Pemikir modern Indonesia pertama-tama, yang tanpanya, penyusunan sejarah modern Indonesia tidaklah mungkin.”