Monday, January 15, 2007

Revolusi di Surga yang Tersisa

Kisah-kisah menakjubkan yang terpapar di memoar ini terjadi karena sebuah koinsidensi di suatu sore pada 1932 yang dingin diguyuri hujan. Ketika itu, seorang perempuan berdarah Skotlandia yang hijrah ke Amerika sedang gundah dengan dirinya sendiri. Ia pun berjalan-jalan di Hollywood Boulevard. Di depan sebuah bioskop, perempuan ini memutuskan untuk membeli karcis dan menyaksikan sebuah film berjudul, Bali: The Last Paradise.

Sekeluarnya dari bioskop, perempuan itu seperti menemukan hidup. Hanya beberapa menit seusai film itu kelar ditonton, ia sudah punya keputusan bulat: pergi dan menetap di Bali.

Beberapa bulan berselang, dengan mengendarai mobil yang dibelinya di Batavia, ia tiba di Surga Terakhir yang diimpikannya. Ia bersumpah baru akan turun dari mobil hanay ketika mobilnya kehabisan bensin. Dan di sanalah ia berjanji aman tinggal. Mobilnya berhenti persis di depan sebuah istana raja yang ia sangka sebuah pura.

Hati-hati ia masuki istana itu. Perempuan itu akhirnya disambut oleh sang raja dan seperti sebuah dongeng, ia diangkat menjadi anaknya yang keempat. Dan ia dinamai: K’tut Tantri.

Surabaya Sue. Begitu pers di Singapura, Australia dan di belahan bumi lain mengenalnya.

Julukan itu tersampir di pundaknya karena pilihan sadarnya untuk lebih memilih berjuang membantu rakyat Indonesia yang menginginkan kemerdekaan total. Di Surabaya ia dikenal sebagai penyiar dari radio yang dioperasikan para pejuang arek-arek Suroboyo pimpinan Bung Tomo. Ketika di Surabaya pecah pertempuran November yang gila-gilaan dan tak seimbang itu, ia berada di tengah para pejuang Indonesia yang sedang kerasukan semangat kemerdekaan.

Perkenalannya dengan dunia politik sendiri dimulai oleh diskusi-diskusinya yang intens dengan Anak Agung Nura, putra tertua Raja yang mengangkatnya anak. Nura adalah pangeran Bali yang pernah mengecap pendidikan di Leiden dan Universitas Heidelberg di Jerman.

Ketika Jepang mendarat di Bali, ia berhasil meloloskan diri ke Surabaya. Di sana, ia mulai menjalin kontak dengan sejumlah orang yang bersimpati pada gerakan anti-Jepang. Ketika akhirnya ia tertangkap, interogasi berbulan-bulan lamanya mesti ia hadapi. Ia ditanyai soal aktivitas bawah tanahnya. Berkali-kali ia disiksa. Ia bahkan nyaris dieksekusi. Sekali waktu ia terkapar nyaris mati. Tapi ia tetap bungkam. Karena kesehatannya yang anjlok ke titik ternadir, ia pun dikirim ke rumahsakit. Di sanalah ia mendengar kabar diproklamasikannya kemerdekaan.

Aktivitas bawah tanah dan keteguhan sikap untuk tak mangap selama interogasi membuat tentara Indonesia di bawah pimpinan Bung Tomo membebaskannya. Ia diberi pilihan: kembali ke negerinya dengan jaminan pengamanan tentara Indonesia atau bergabung dengan pejuang Indonesia.

Dan Ktut Tantri memilih pilihan kedua. Ia dipercaya untuk mengelola siaran radio perjuangan. Suaranya mengudara tiap malam. Ketenarannya membikin sebuah faksi tentara Indonesia menculiknya dan memintanya untuk siaran di radio gelap yang mereka kelola sebelum kemudian anak buah Bung Tomo berhasil membebaskannya.

Sewaktu pemerintahan Indonesia pindah ke Jogja, K’tut Tantri pun pindah ke Jogja. Di sana ia bekerja pada kantor Menteri Pertahanan yang ketika itu dijabat oleh Amir Syarifuddin. Ia pernah menuliskan pidato Soekarno. Sekali waktu ia menjadi seorang agen spionasi yang berhasil menjebak sekomplotan pengkhianat.

Marabahaya tentu saja melela di mana-mana. Dialah satu-satunya perempuan yang berkeliaran di jantung Jogja yang pekat oleh bau mesiu itu. Ketenaran dan pengorbanannya juga menjadi rebutan faksi-faksi politik. Sekali waktu ia pernah dibawa diam-diam oleh salah satu kelompok politik yang hendak melakukan rapat rahasia di Solo. Ktut bahkan tak sadar kalau dalam perjalannya menuju Solo ia berada satu mobil dengan Scarlet Pimpernal-nya Indonesia yang legendaris itu, Tan Malaka.

Dalam sebuah konferensi pers yang dihadiri wartawan dan koresponden pelbagai kantor berita dan media massa luar negeri, ia dipilih olehpemerintah untuk mengisahkan bagaimana rakyat begitu bersemangat mendukung perjuangan dan betapa dustanya propaganda Belanda yang menyebutkan bahwa pemerintahan Soekarno-Hatta sama sekali tak didukung rakyatnya. Dari sanalah julukan Surabaya Sue lahir.

Kesetiaannya yang tanpa karat membuat Ktut dipilih pergi ke Singapura dan Asutralia untuk melakukan kampanye menggalang solidaritas internasional. Tanpa visa dan paspor, dengan hanya bermodal kapal tua yang dinakhodai seorang Inggris yang frustasi, Ktut berhasil lolos dari blokade kapal laut Belanda. Dari Singapura ia pergi ke Australia untuk menggalang dana, melakukan propaganda agar (rakyat) Australia memboikot Belanda. Selama di sana ia berhasil menggalang sebuah demonstrasi mahasiswa di perwakilan pemerintahan Belanda di Australia.

Ketika terjemahan Indonesia buku ini terbit pertama kali pada 1965, buku ini sudah terbit di tiga belas negara, dari mulai Amerika, Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Norwegia, Swedia, Finlandia, Jepang, Spanyol, Denmark, hingga Cina.

Buku ini meraih kesuksesan luar biasa karena pada masanya ia dianggap sebagai suara jernih yang dipercaya dapat menggambarkan tidak hanya eksotisme Bali seperti yang bisa dibaca dalam banyak roman Eropa sejak abad 18, melainkan diyakini pula sebagai bacaan yang otoritatif untuk menggambarkan bagaimana tekstur dan gestur dari jiwa Indonesia, sebuah bangsa yang baru saja merdeka bukan karena pemberian cuma-cuma penjajahnya.

Memang sulit untuk tak menyebut buku ini istimewa, sesulit keinginan berniat berhenti membaca memoar ini begitu seseorang sudah membuka halaman pertamanya. Keistimewaan buku ini bukan hanya karena berisi pengalaman hidup penulisnya yang luar biasa dan nyaris nekad, tetapi juga karena buku ini disusun dengan gaya bercerita yang demikian kuat, mengalir, yang di sana-sini pembaca akan menemukan banyak momen dramatik bak sebuah suspense seperti yang biasa dijumpai dalam novel-novel berlatar perang. Karakter-karakter yang dipanggungkan pun nyaris tak ada yang sia-sia. Pembaca mana pun akan kesulitan untuk tidak ikut-ikutan membenci sosok yang dikisahkan mengkhianati perjuangan Indonesia atau menyiksa K’tut Tantri.

Tampak betul kalau Ktut Tantri punya kemampuan teknis di atas rata-rata dalam berkisah.

Kendati buku ini adalah sebuah memoar yang tentu saja setia dengan fakta-fakta sejarah sejauh pengamatan dan pengetahuan Ktut, tetapi memoar ini jauh dari kesan kaku. Membaca buku ini seperti membaca sebuah roman, lengkap dengan alurnya yang rapi, karakter-karakternya yang kuat dan sejumlah suspense-nya yang dramatik. Untuk ukuran Indonesia, barangkali hanya seorang Ramadhan KH lewat otobiografi Inggit Garnasih, Ku Antar ke Gerbang, yang bisa menandingi kemampuan Ktut menuliskan memoar dengan gaya roman.

Kendati banyak mengisahkan orang-orang besar (terutama Bung Tomo, Bung Karno dan Amir Syarifuddin) dan kejadian-kejadian penting yang terkenal, dengan caranya sendiri Ktut Tantri berhasil menyusun sebuah memoar yang bisa dibaca sebagai buku sejarah yang demikian lapang memberi ruang pada orang-orang kecil dan kejadian-kejadian yang tampaknya sepele tetapi sesungguhnya bisa memberi gambaran yang lebih utuh tentang jalannya perjuangan kemerdekaan yang kompleks dan penuh warna ini; sederet kejadian yang sama sekali tak tercatat dalam buku-buku babon sejarah kemerdekaan Indonesia.

Memoar ini juga kaya dengan detail kejadian yang tak tercatat, dari peristiwa yang dramatis hingga yang lucu. Salah satunya adalah kejadian ketika Ktut mengikuti rapat akbar di Jawa Timur yang menghadirkan Bung Karno, Bung Hatta dan Amir.

Seperti biasa, Bung Karno menggelorakan peserta rapat akbar dengan orasinya yang meninju, dan Hatta memukau massa dengan ketenangannya yang nyaris seperti seorang pendeta. Ketika giliran Amir berorasi, ia tampil tak seperti biasanya. Amir yang dikenal kaku, selalu serius, tiba-tiba tampil demikian lucu dan konyol. Rakyat yang mengikuti rapat akbar itu tergelak dan terpingkal-pingkal menyaksikan polah konyol Perdana Menteri-nya. Bung Karno dan Bung Hatta heran setengah mati. Ternyata, beberapa saat sebelum berpidato, Amir diam-diam menenggak habis sebotol Johny Walker, minuman keras beralkohol tinggi, yang dibeli Ktut dan kawan-kawannya untuk pesta ulang tahun seorang kolonel. Amir mabuk berat di atas panggung!

Kini, Ktut Tantri mungkin sudah tak dikenal. Namanya tak tercetak dalam satu pun buku sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah. Tapi Ktut mungkin sendiri tak terkejut. Sewaktu di Australia, ia didatangi orang-orang Belanda yang menawarinya uang banyak asal tak membantu lagi Indonesia. Orang Belanda itu juga menyebut kalau bangsa dan orang Indonesia kelak mungkin akan melupakannya.

Tapi Ktut bergeming. Katanya: “Aku hanya setetes dari laut yang mengarus semakin besar menuju kebebasan. Orang Indonesia boleh saja melupakan segala sesuatu mengenai diriku. Mengapa tidak?”

Ktut Tantri sudah meramalkan nasibnya yang kelak dilupakan. Sebuah ramalan yang presisi. Dan Ktut Tantri sama sekali tak menyesalinya. Ia hanya menuruti panggilan kata hatinya. Dan hatinya memang ada di Bali, tepatnya di Indonesia. “Sepotong Surga Terakhir” seperti yang dikatakan sebuah film Hollywood yang ia saksikan di sebuah sore yang dingin diguyuri hujan.

Inspirasi dari Neraka

The Dante Club adalah novel yang memberi kita gambaran bagaimana sebiji puisi bergerak menjadi sebuah etos yang membikin sejumlah orang besar rela menghabiskan banyak waktunya demi menghidupkan “kata-kata”.

Pengarang The Dante Club, Mathew Pearl, menyusun novel perdananya ini berdasarkan latar belakang historis yang terjadi di Amerika Serikat pada pertengahan abad 19, persis ketika Perang Saudara yang meletihkan baru saja usai. Saat itu puisi ada di posisi yang mulia di hati dan pikiran bangsa Amerika. Para penyair menempati kelas sosial yang tinggi. Mereka menjadi selebriti yang kemunculannya selalu dinanti-nanti. Buku-buku puisi laris manis. Jurnal-jurnal kesusastraan bermunculan.

Tetapi Amerika adalah bangsa yang tak sepenuh hati mencintai puisi. Hal itu terlihat dari respon yang muncul terhadap penerjemahan Divina Commedia, puisi panjang karya sastrawan Italia, Dante Alighieri. Ketika Henry Wadsworth Longfellow, penyair Amerika dengan reputasi nomer wahid, sedang menerjemahkan Divina Commedia, para elit agamawan dan akademisi (terutama para guru besar sastra di Harvard) malah berupaya menghalanginya dengan segala cara. Divina Commedia dianggap tak layak menempati rak-rak buku Amerika karena dinilai sebagai karya tak bermoral, melecehkan iman Kristen, sekaligus mencerminkan dekadensi Eropa.

Bagi Longfellow sendiri, menerjemahkan karya Dante adalah kerja yang menjadikannya bersemangat menghadapi hidup. Divina Commedia adalah pelipur lara bagi Longfellow yang baru saja ditinggal mati istrinya.

Longfellow tak sendirian menerjemahkan Divina Commedia. Ia dibantu oleh empat orang karibnya yang sama-sama mencintai Dante: James Russel Lowell (penyair dan Guru Besar Harvard), Oliver Wendell Holmes (penyair dan Guru Besar Kedokteran Harvard), Washington Green (Guru Besar Sejarah) dan James T. Field (bos penerbit Ticknor& Fields). Lima orang ini menamakan dirinya: Klub Dante. Klub inilah yang menjadi cikal bakal dari Dante Society of America yang dideklarasikan pada 1881.

Mereka bertkumpul tiap Rabu malam di The Craigie House, kediaman Longfellow yang hening. Di sana mereka berdiskusi, mengomentari dan memberi masukan terhadap draft terjemahan yang dikerjakan Longfellow.

Di saat yang bersamaan, terjadi serangkaian pembunuhan misterius yang menghebohkan seisi kota Boston. Pembunuhan itu menghebohkan bukan hanya karena menimpa sejumlah nama penting di Boston, melainkan juga karena pembunuhan dilakukan dengan teknik membunuh yang belum pernah dikenal sebelumnya. Pembunuhan dilakukan dengan demikian rapi dan nyaris tak meninggalkan jejak. Polisi sama sekali tak mampu memecahkan kasusnya.

Bagi Longfellow dkk., rangkaian pembunuhan itu benar-benar mengejutkan. Hanya anggota Klub Dante saja yang bisa memahami: pembunuhan itu dilakukan dengan menjiplak teknik penyiksaan yang ada dalam Divina Commedia.

Perlu untuk diketahui, puisi panjang Dante ini terbagi ke dalam tiga bagian Inferno (Neraka Jahanam), Purgatorio (tempat penyucian dosa) dan Paradiso (Surga). Divina Commedia sendiri adalah sebuah karya alegori-naratif yang mengisahkan perjalanan imajiner ke alam akhirat. Di bagian Paradiso, Dante mengisahkan perjalanan Beatrice, perempuan yang dalam kehidupan nyata sangat dicintai Dante, di surga. Di bagian Inferno dan Purgatorio, Dante memilih Virgil sebagai sosok yang dijadikan naratornya untuk mengisahkan dan mendeskripsikan tujuh lapis neraka, berikut detail sadis hukuman penyiksaan yang didera para penghuninya.

Nah, dalam temuan Klub Dante, rangkaian pembunuhan yang terjadi di Boston ternyata menjiplak detail penyiksaan yang disaksikan Virgil dalam Inferno. Dan lewat sebuah penyelidikan yang intensif, diketahui betapa rangkaian pembunuhan itu ternyata selalu terjadi beberapa saat setelah mereka bertemu tiap Rabu malam untuk membahas hasil-hasil terjemahan Longfellow.

Klub Dante pun sadar bahwa di Boston sedang berlangsung dua proyek penerjemahan Divina Commedia: mereka menerjemahkan dengan pena dan yang lain menerjemahkannya dengan darah!

Dante terancam didakwa sebagai inspirator bagi rangkaian kekejian tiada tara yang terjadi di Boston. Masa depan Dante dan semua karyanya betul-betul dipertaruhkan. Oliver Holmes menuntut agar penerjemahan Divina Commedia ditangguhkan. Dia menganggap Klub Dante sedikit banyak memikul tanggungjawab atas horor yang membikin Boston menjadi tak aman.

Soliditas Klub Dante mulai goyah. Mereka terpaksa memertanyakan dan merumuskan ulang eksistensi Klub Dante. Mereka juga harus mengambil keputusan secepatnya: apakah harus aktif menemukan Sang Pembunuh dengan menghadapi resiko yang tak sepele atau membiarkan polisi Boston yang tak tahu sama sekali pengaruh Dante dalam rangkaian pembunuhan itu untuk mengungkapnya tanpa bantuan mereka. Jika pilihan terakhir yang diambil, Klub Dante harus siap jika akhirnya mereka dicurigai polisi.

Mengambil pilihan kedua juga sama dengan membiarkan otoritas Harvard menembakkan “peluru” ke Klub Dante dan juga larya-karya Dante. Atau jangan-jangan memang otoritas Harvard sendiri yang berada di balik rangkaian pembunuhan? Kalau bukan Harvard, lantas siapa? Mungkinkah pembunuhan ini justru dilakukan oleh salah seorang anggota Klub Dante, mengingat orang-orang yang dibunuh ternyata adalah orang-orang yang terlibat dalam konspirasi Harvard untuk mencegah pengaruh Dante di Amerika?

The Dante Club, seperti yang tampak dalam bahasa dan dialog-dialognya, adalah novel yang latar sejarahnya diambil dari sejumlah referensi buku sejarah Amerika. Deskripsi kota Boston masa itu diambil Mathew Pearl dari peta-peta lama. Sedangkan detail sikap dan kelakuan sehari-hari para anggota Klub Dante diadaptasi terutama dari sejumlah puisi, esai, novel, dan surat-surat yang ditulis para anggota Klub Dante sendiri.

Sebagai sebuah novel detektif, The Dante Club memang tak secanggih, misalnya, The Da Vinci Code atau Angels and Demons-nya Dan Brown. Terlihat benar betapa Mathew Pearl tak semahir Brown dalam menghadirkan suspense. Tak banyak kejutan yang terpapar. Belasan halaman sebelum Sang pembunuh muncul, pembaca sudah bisa menebaknya. Kemunculan Sang Pembunuh juga jauh dari dramatis dan sama sekali tidak menghadirkan efek kejut di syaraf pembaca.

Tetapi sebagai sebuah novel sejarah yang mencangkok banyak puisi di helai-helai halamannya, novel ini memang memesona. The Dante Club adalah novel sejarah yang unsur fiksinya berhasil membikin fakta-fakta sejarah menjadi serangkaian kisah yang hidup dan menegangkan, sekaligus berhasil membikin unsur-unsur fiksinya menjadi lebih meyakinkan karena (seakan-akan) memiliki argumen historis yang tak cuma kukuh, melainkan juga detail.

Di tangan Mathew Pearl, Doktor bidang Sastra dari Harvard, yang tahu banyak bagaimana aktivitas para anggota Klub Dante, puisi-puisi yang bertebaran di helai-helai halaman novelnya bukan sekadar menjadi pemanis yang genit, melainkan betul-betul hidup tak ubahnya sebuah karakter, laiknya seorang tokoh manusia saja. Dalam The Dante Club, makhluk bernama puisi bergerak dengan sedemikian rupa dan menyebarkan pengaruh tak terduga ke dalam diri tokoh-tokoh novel ini. Persis seperti peran yang dimainkan puisi dalam film Dead Poets Society.

Judul Buku: The Dante Club
Pengarang: Mathew Pearl
Penerjemah: Agung Prihantoro
Penerbit: Q-Press,
Bandung
Cetakan: I, Agustus 2005
Tebal: 615 halaman