Friday, March 30, 2007

Apologia di Athena

Athena adalah panggung di mana buhul peradaban dan kebudayaan Eropa bisa dilacak jejaknya.

Di kota inilah, Herodotus memulai tradisi historiografi. Di kota ini, Sophocles dan Aristophanes menuliskan naskah-naskah drama yang hingga kini masih dipentaskan di mana-mana, dari Broadway hingga komunitas teater jalanan di Malioboro. Di kota ini pula, para pemahat, perupa dan arsitek bahu membahu membangun Parthenon yang agung dan kuil Delphi yang magis.

Dan di sini pulalah, 2406 tahun sebelum Steven Gerard dan Paolo Maldini memimpin anak buahnya mengelar pertarungan yang mungkin akan sedramatis seperti final 2005, Socrates sudah lebih dulu mementaskan sekaligus mengakhiri hidupnya yang unik dengan dramatis.

Ya, pada satu hari di tahun 399 SM, Socrates maju ke depan pengadilan Athena. Dia tahu dia akan (di)kalah(kan). Tapi harga diri dan terutama prinsip filsafat yang dipeluknya hanya memberinya satu pilihan: maju ke depan pengadilan berhadapan muka dengan muka para penuntutnya.

Hari itu, Socrates mesti berhadapan dengan Meletos, Anythos serta Lycon. Tiga orang ini bukan siapa-siapa dibandingkan Socrates. Tetapi, tiga orang ini mustahil dikalahkan karena ketiganya mewakili tiga kelompok sosial yang paling berpengaruh di Athena pada saat itu. Meletos mewakili para penyair, Anythos mewakili para seniman dan negarawan dan Lycon mewakili musuh besar Socrates: kaum sofis.

Pada hari pengadilan yang dihadiri, setidaknya, duapertiga warga Athena, Socrates menyampaikan tiga buah pidato. Pada pagi hari, Socrates membacakan pledoi. Siang harinya, usai pemungutan suara yang memutuskan hukuman mati (280 suara meghukum Socrates dan 220 suara membebaskan) Socrates maju kembali menyampaikan pidato dan diijinkan meminta pengampunan atau alternatif hukuman. Dan sore harinya, setelah pemungutan suara yang kedua menolak alternatif hukuman yang diajukan Socrates, Socrates kembali maju menyampaikan pidato perpisahan.

Tiga buah pidato Socrates, yang ditulis ulang oleh Plato menjadi buku Apologia itu, bagi saya, adalah salah satu rujukan intelektual paling tua dan sempurna atas apa yang disebut John Dewey sebagai konsepsi the art of principle (Bung Hatta menyebutnya sebagai “etik Socratik”). Etik Socratik merupakan anti-tesis dari rumusan Otto van Bismarck yang mengartikan politik sebagai “seni mencapai tujuan”.

Saya menyebut Apologia sebagai rujukan atas konsepsi the art of principle karena tiga buah pidato di hari terakhir Socrates itu sebagai contoh teoritis sekaligus praksis dari laku memertahankan prinsip-prinsip secara lugas, benderang, tanpa tedeng aling-aling dan nyaris keras kepala.

Berbeda dengan beberapa kaum sofis yang diadili, yang menyampaikan pledoi seperti anak SD sedang berdeklamasi, penuh dengan kalimat yang mengharu-biru, kadang dengan rengekan, dengan gerak tangan dan mimik yang dramatik, terkadang dengan tetesan air mata, Socrates menyampaikan semua pembelaan dirinya dengan kalimat yang terus terang, menyebut nama lawannya tanpa inisial, menghantam lawannya (terutama Meletos) dengan lugas, dengan tanpa rasa takut sekaligus tanpa kehilangan sedikitpun cira rasa kerendah-hatian dirinya yang sudah dikenal di delapan penjuru Athena.

Socrates menolak tawaran alternatif hukuman berimigrasi ke luar kota. Socrates memang mengajukan alternatif hukuman berupa denda sebesar 1 Mina. Tetapi karena Denda 1 Mina yang diajukan Socrates murahnya gak ketulungan, maka alternatif hukuman ini lebih mirip satire. Socrates sendiri menolak tawaran bantuan 30 Mina yang ditawarkan para muridnya, antara lain Plato, Crito, Critobolus dan Apollodoros.

Jika drama Antigone karya Sophocles bisa disebut sebagai puncak warisan seni drama kebudayaan Athena, Apologia sebagai epilog kehidupan Socrates adalah versi lain dari semangat dramaturgi kebudayaan Athena dalam kehidupan nyata dan bukan semata di panggung Parthenon yang agung.

Inilah yang membedakan Socrates dengan Aristoteles, yang setelah kematian muridnya, Alexander the Great, juga diadili secara tak adil oleh musuh-musuh politik Alexander. Jika Socrates memilih tetap dihukum mati dan dengan demikian menyempurnakan Apologia sebagai rujukan intelektual sekaligus praksis dari the art of principle, Aristoteles lebih memilih untuk menyingkir ke luar kota.

Hal yang sama dengan Socrates bisa kita temukan pada sosok Thomas More, penulis buku klasik Utopia, yang memilih hukuman mati ketimbang mengesahkan pernikahan Raja Edward yang melanggar prinsip gereja Katolik Roma (Sila tonton film Man for All Season yang mengharukan itu).

Etik Socratik, sekali lagi, adalah anti-tesis dari rumusan Bismarck ihwal politik sebagai “seni mencapai tujuan” (baca: kemenangan). Dalam rumusan itu, politik dimengerti tidak hanya sebagai eufemisme (penghalusan) dari peperangan, tetapi sebagai laku di mana tujuan akan menihilkan segala macam debat ihwal etika. Semua boleh asal tujuan terpenuhi. Segalanya halal sepanjang ada jaminan tujuan bisa direngkuh. Apakah itu dengan lobi-lobi di bawah meja, pertemuan tertutup di hotel-hotel, hingga transfer fulus ke rekening lawan politik.

Hari ini, ketika hidup tak lebih dari berhimpun deadline yang siap mengerkah jika tak ditaati, ketika politik tak lebih dari deklamasi dan tetek bengek pidato menjemukan kaum Sofis di Athena dulu, Socrates kita ingat tak lebih seperti barang antik di museum yang kita kunjungi saat hari libur anak sekolah.

Judul Buku: Apologia
Penulis: Socrates featuring Plato
Penerjemah: Fuad Hasan
Penerbit: Pustaka Jaya
Terbitan: I, 1982
Halaman: 120 halaman

Thursday, March 15, 2007

Bukan David yang Melawan Goliath

David” adalah novel perdana seorang pengarang muda. Membaca novel ini membuat saya mudah menebak kalau pengarangnya, AN Ismanto, adalah seorang yang tekun membaca banyak karya sastra, baik lokal maupun asing.

Di helai-helai halaman novel ini akan ditemukan sejumlah fragmen yang tak bisa disebut kacangan. Misalnya ketika si tokoh utama, David, sedang melakukan monolog interior ihwal beda antara manusia dan pepohonan (h. 5-6). Atau saat tokoh yang sama melakukan –lagi-lagi- monolog interior tentang manusia pertama (Adam) dan manusia kedua (entah siapa namanya) serta kemungkinan kalau dirinya adalah titisan dari manusia kedua yang diusir dari surga karena memakan buah khuldi bukan karena godaan dari iblis yang menyaru ular, melainkan semata karena pilihan bebasnya (hal 67-72).

Tetapi bukan berarti novel ini tak punya nila. Dalam hal-hal tertentu, nila yang menguar dari novel ini justru muncul dalam hal krusial yang sedari awal direncanakan menjadi kekuatan novel ini.

“David” tampak benar diniatkan sebagai novel yang menjadi panggung di mana minat (mungkin juga obsesi) pengarangnya dalam menampilkan karakter dan karakterisasi digelar.

Novel ini mengisahkan dunia batin sejumlah pribadi, dari mulai David yang jadi tokoh utama, kemudian Alfa, Mega, juga Guli. Saya menyebut “dunia batin” karena sekujur novel ini memang memaparkan dan mengisahkan “dunia batin” tokoh-tokohnya, lengkap dengan mimpi-mimpinya, cita-citanya, hingga dilema dan ketegangan esksitensial yang dihadapi.

Saya juga menyebut “dunia batin” karena kebanyakan gejolak eksistensial yang dihadapi kebanyakan diakibatkan pikiran-pikiran mereka sendiri. Sehingga seringkali terjadi seorang tokoh bisa bingung, kalut, atau gembira hanya karena mendadak ada pijar cahaya di ufuk timur saat fajar mulai mengembang, misalnya.

Karakter-karakter novel ini bukan karakter yang mudah dijumpai dalam keseharian. Semuanya unik. Tak biasa. Saya membayangkan, apa jadinya kalau orang-orang tersebut nyata ada dan sempat berkumpul bersama. Mungkin peserawungan mereka mirip perjumpaan orang-orang di Academia Plato di Yunani baheula.

Tentu saja itu bukan hal tabu. Salah satu kelebihan novel ketimbang puisi, cerpen atau naskah drama justru terletak pada keluasan dan keleluasaan yang dipunyai pengarang untuk menghamparkan karakter lengkap dengan karakterisasinya yang kompleks, menghadapi banyak dilema dan paradoks serta tidak hitam-putih.

Novel dengan corak psikologis yang kental memang biasanya akan mengambil titik pusat perkisahan pada karakter-karakter, tepatnya dunia batin. Dialog, pemeriaan alam atau tampilan suasana dibangun untuk memerjelas dinamika dunia batin itu.

Berhasil memilih tipe-tipe karakter yang unik yang ditopang oleh teknik dialog yang cukup variatif, novel ini sayangnya justru kurang berhasil meyakinkan pembaca bahwa karakter-karakter itu memang punya penjelasan yang cukup memuaskan ditilik dari logika novel realis-psikologis yang menjadi genre novel ini. Karakter-karakter di novel ini seperti hadir begitu saja, seakan dari suatu kekosongan sejarah. Tak terlalu mengherankan jika pilihan-pilihan yang diambil tiap kali para tokohnya menghadapi dilema seringkali terjadi begitu saja dengan ringannya.

Kendati ada sedikit celah ketika tak jelas kenapa Alfa yang merupakan anak baik semasa kecil dan sekolah mendadak menjadi pemabuk dan penjudi ketika sedang merantau dan menjadi kuli di sebuah kota besar, pengarang (hanya) relatif berhasil menghadirkan Alfa yang gejolak batinnya hadir secara alamiah dan wajar. Di luar Alfa, termasuk sosok David, tokoh-tokoh itu punya kesan agak dibuat-buat.

Tak cukup jelas pula kenapa David digambarkan sebagai lelaki dengan badai dan masa lalu yang mengeram dengan buas di tubuhnya. Guli pun mendadak bisa mengetahui rahasia Mega yang hidup free sex (termasuk dengan Pak Joko), padahal sebelumnyaGuli sama sekali tak paham kenapa Mega dan Joko saling menatap dengan aneh.

Saya juga tak mendapatkan penjelasan kenapa David memilih untuk tinggal di sebuah rumah yang terpencil dan terpisah dari keramaian. Tapi anehnya, tanpa sebuah renungan yang panjang sofistikatif seperti biasanya, David bisa dengan entengnya menerima undangan minum teh di rumah Alfa dan tentu saja berarti membuka cangkang isolasi si David yang sedari awal dengan susah payah dibangun pengarangnya.

Saya mencoba untuk mencari penjelasannya pada “spontanitas”. Mungkin pengarang ingin menyampaikan betapa spontanitas bisa lebih menguasai/memengaruhi pilihan yang diambil manusia ketimbang penjelasan kausalitatif.

Tetapi argumen itu bisa patah mengingat sedari awal tampak jelas bahwa pengarang sedang menyiapkan tokoh-tokoh yang hobi melakukan sofistikasi, yang bahkan hanya karena soal pijar cahaya, duri ikan nila atau pintu rumah yang selalu tertutup, misalnya, bisa direnungkan begitu lama. Hal aitu bisa tampak dari banyaknya fragmen tentang perang kekuatan mata antar tokoh dan yang kalah dalam pertarungan mata akan kehilangan kekuatan, lengkap dengan sofistikasi si tokoh yang kalah dari perang kekuatan mata itu terhadap kekalahannya (sesuatu yang sedikit banyak mengingatkan saya pada fragmen “lubang kunci”-nya Sartre yang termasyhur itu).

Saya agak khawatir tokoh-tokoh di novel ini memang sudah sedari awal direncanakan dengan rigid dan mendetail oleh pengarangnya. Akhirnya tokoh-tokoh di sini pun terasa kurang daya spontanitasnya.

Pembukaan novel ini makin menguatkan kesan itu. Bab yang membuka novel ini bisa dibaca seperti senarai definisi tentang waktu dan bagaimana waktu hadir menjadi monster yang menelan manusia. Sayangnya, manusia-manusia dengan deretan karakteristiknya di novel ini hadir, hidup dan pergi begitu saja; seakan-akan bukan ditelan waktu, tetapi dibuntal oleh pikiran-pikirannya sendiri.

Sila anda bayangkan seperti apa sebuah novel yang dibuka oleh senarai definisi. Menurut hemat saya, bab 1 relatif mubazir. Jika pembaca melewatkan bab 1 dan langsung melangkah ke bab 2 pun kisah ini bisa tetap dibaca tanpa problem yang cukup berarti.

Pengarang yang kelihatan berbakat dan punya kecakapan teknis ini sayangnya terasa terlalu berkuasa atas ceritanya sehingga (jika peristilahan Milan Kundera bisa dipakai di sini) “pengarang jadi tampak lebih cerdas dari novelnya”.

David dan Guli di sini bukanlah David atau Goliath seperti yang kita kenal dalam kisah bangsa Yahudi melainkan hasil rekacipta yang terlalu dikontrol oleh (katakanlah) ide-ide pengarangnya tentang siapa, apa dan bagaimana mahluk bernama manusia mengarungi medan waktu.

Judul Novel: David
Pengarang: AN Ismanto
Penerbit: Grafindo Litera Media,
Yogyakarta
Cetakan: I, Februari 2006
Halaman: viii + 207 halaman