Tuesday, April 12, 2011

Mistifikasi Novel Sejarah

Novel sejarah bisa menjadi “sumber sejarah”. Tetapi tidak semua novel sejarah bisa dijadikan “dokumen sejarah” seperti yang diharapkan Misbahus Surur dalam esai “Mengais Realitas dalam Novel Sejarah”.

Keberatan utama yang ingin saya ajukan terhadap esai Misbahus Surur (MS) terletak pada pengabaiannya terhadap pertanyaan mendasar: Dalam situasi apa dan dengan cara apa sebuah novel sejarah bisa diacu sebagai dokumen sejarah atau sumber sejarah apalagi buku teks sejarah?

Sebuah teks/dokuman bisa dianggap sebagai “dokumen sejarah” jika (dan hanya jika) dokumen itu berkaitan langsung dengan sebuah peristiwa sejarah. Naskah proklamasi yang diketik Sayuti Melik yang dibubuhi paraf Soekarno-Hatta bisa disebut sebagai “dokumen sejarah”. Ilmu sejarah menyebut dokumen macam itu sebagai “sumber primer”.

Koran yang memuat berita pembacaan proklamasi juga masuk kategori ini, sepanjang berita itu ditulis oleh wartawan yang menyaksikan peristiwa itu secara langsung. Sumber primer juga bisa merujuk pada semua bahan yang ditulis atau dikatakan oleh seseorang yang menyaksikan langsung peristiwa pembacaan proklamasi. Buku yang mencantumkan copy/repro naskah proklamasi yang asli tak bisa disebut dokumen sejarah atau sumber primer. Ia paling banter hanya menjadi “sumber sekunder”.

Karenanya, serial novel “Gajah Mada”-nya Langit Kresna Hadi (yang disebut dalam esai Misbahus Surur) tidak bisa diperlakukan sebagai dokumen sejarah, hal yang sama juga bisa dilekatkan pada roman “Arus Balik” atau “Arok Dedes” atau “Bumi Manusia”-nya Pramoedya Ananta Toer.

Jika pun ingin mencari karya sastra yang bisa dijadikan sebagai dokumen sejarah mengenai Gajah Mada, pastilah itu merujuk pada “Negarakrtagama” yang memang menjadi rekaman langsung Sutasoma ihwal masa pemerintahan Hayam Wuruk. Untuk menyusunnya, Sutasoma bahkan ikut turnoi Hayam Wuruk ke beberapa wilayah mancanegara.

Pengandaian yang sama bisa diajukan pada novel “Di Tepi Kali Bekasi”-nya Pramoedya, novel dengan setting waktu yang dialami langsung oleh Pramoedya; satu privilese yang memungkinkan Pram –setidaknya—bisa mengerti suasana dan psikologi zaman di mana setting “Di Tepi Kali Bekasi” digelar.

“Di Tepi Kali Bekasi” bisa memberi gambaran mengenai kehidupan para pemuda yang menjadi tentara republik, terutama lewat tokoh utama bernama Farid. Kita bisa mendapatkan gambaran semangat para pemuda nasionalis itu serta seperti apa kehidupan sehari-hari mereka, termasuk meraba gaya mereka berpakaian.

Tapi itu saja tidak cukup. Untuk mengetahui secara akurat, diperlukan malacak kesaksian orang-orang yang mengalaminya langsung. Untuk memertajam akurasi, kita mesti membongkar-bongkar koran-koran pada masa itu, yang besar kemungkinan –misalnya—ada yang pernah memajang potret belasan anak muda yang tergabung dalam kesatuan tentara republik sedang berbaris rapi.

Jika pun sebuah novel dijadikan sebagai sumber sejarah dalam sebuah karya historiografi, data yang digunakan pun biasanya tidak menyangkut soal detail mengenai keterangan tempat, waktu, atau kronologi peristiwa (5W+1H) melainkan digunakan untuk mendapatkan gambaran mengenai kesadaran zaman atau semangat zaman yang sedang tumbuh pada masa itu.

Ben Anderson sering menggunakan novel-novel sebagai latar untuk menjelaskan perubahan dan/atau semangat zaman yang sedang berlangsung pada periode sejarah tertentu, misalnya novel “No Moli Tangere”-nya Jose Rizal untuk menangkap situasi dan semangat zaman pada periode kemunculan nasionalisme Filipina seperti yang ditunjukkan dalam karya klasiknya, “Immagined Communities”.

Dalam kasus studi sejarah Indonesia, Rudolf Mrazek banyak menampilkan fragmen-fragmen novel “Student Hidjo”-nya Mas Marco Kartodikromo untuk membangun argumentasi ihwal perubahan yang dipicu oleh merebaknya penggunaan teknologi modern. Mrazek akhirnya berhasil melahirkan “Engginers of Happyland”, satu-satunya karya yang meneropong perubahan yang sedang berlangsung di Hindia Belanda dengan membedah penggunaan teknologi modern dan peran para insinyur dan teknisi.

Novel yang mampu menggambarkan semangat dan situasi sebuah zaman (dan bukan akurasi 5W+1H-nya) itulah yang membuat kita memungkinkan mendapat gambaran (bukan akurasinya) mengenai dunia priyayi di lingkungan kraton bukan hanya dari disertasinya Prof. Darsiti Soeratman, tapi bisa pula dari prosa liris “Pengakuan Pariyem”-nya Linus Suryadi. Hal sama berlaku, misalnya, untuk mengetahui situasi dan semangat zaman (bukan akurasi 5W+1H-nya) pada periode peralihan era kolonialisme dan era kemerdekaan kita tak hanya bisa mengandalkan disertasinya George Mc. Turner Kahin, tetapi bisa pula dari roman indah “Burung-burung Manyar”-nya Romo Mangun.

Hal-hal tertentu dari “Pengakuan Pariyem” atau “Burung-burung Manyar” atau “Di Tepi Kali Bekasi” bisa dijadikan sumber sejarah, tetapi sama sekali tak bisa dijadikan dokumen sejarah.

Kehati-hatian macam itu penting bukan untuk meneguhkan supremasi ilmu sejarah sebagai sumber paling otoritatif mengenai masa silam, tetapi justru untuk (1) tidak sembrono memukul rata semua novel sejarah bisa dijadikan sebagai sumber sejarah atau dokumen sejarah, (2) menempatkan novel sejarah pada proporsinya dan (3) tidak memberi beban yang tidak semestinya pada novel sejarah.

Mengharapkan novel sejarah dan semua halaman dari sebuah novel sejarah bisa digunakan sebagai sumber sejarah sama berharap setiap novelis menulis dengan tingkat akurasi data sejarah yang presisi; satu beban yang tidak mungkin dan tidak wajib dijawab para novelis dan lebih lebih tepat disorongkan ke meja kerja para sejarawan.

Riset sejarah para novelis dilakukan untuk membangun karakter, percakapan, adegan dan konflik-konflik sehidup mungkin dan semeyakinkan mungkin. Di tangan novelis, data-data sejarah diperlakukan sebagai bahan mentah yang diolah sedemikian rupa dengan mengerahkan imajinasinya yang (boleh saja) tanpa (pem)batas(an). Novelis tak terikat fakta fakta sejarah. Semuanya dapat berupa fiksi. Namun dalam menyusun cerita, novelis dituntut membangun logika cerita (yang bisa tak ada hubungannya dengan logika aristotelian).

Sejarawan atau novelis sama-sama membuat konstruksi cerita yang koheren. Bedanya, sejarawan menunjuk kepada hal hal yang memang pernah ada, sementara novelis bisa dan sah-sah saja meng¬gambarkan sesuatu yang tidak pernah ada. Sejarawan wajib tidak menambah-nambahi, sedang novelis bebas menciptakan apa, kapan, siapa dan di mananya.

“Bumi Manusia”-nya Pramoedya Ananta Toer bisa menjadi kanon sastra dan bahkan menggoncang diskursus sejarah pergerakan Indonesia bukan karena akurasinya memaparkan biografi Minke sebagai protonima karakter Tirtoadisoerjo, melainkan karena keberhasilan Pramoedya menghidupkan karakter Minke dalam sebuah panggung fiksi yang tidak kalah hidup dan memikatnya. Pendeknya, daya goncang tetralogi Buru pada diskursus sejarah pergerakan Indonesia lebih karena karya itu berhasil secara literer dan suksesk menggugah pembaca untuk memertanyakan kembali narasi sejarah yang selama ini dianggap baku.

Dari sanalah gelombang rasa ingin tahu mengenai kehidupan dan peran Tirto yang sebenarnya bermunculan. Dari situlah diskursus sejarah pergerakan Indonesia yang hampir tak pernah menyebut-nyebut peran Tirto seperti digoncang dan pelan tapi pasti nama Tirtoadisoerjo mencuat ke dalam narasi sejarah pergerakan Indonesia sebagai seorang protagonis yang tak bisa disepelekan begitu saja.

Pengandaian yang sama bisa kita ajukan –misalnya—kepada novel “Uncle Tom’s Cabin” karya Harriet Beecher Stowe yang membangkitkan gerakan anti perbudakan di Amerika yang berimbas pada Civil War. “Uncle Tom’s Cabin” bisa sedemikian berpengaruh bukan karena akurasi pemerian Stowe terhadap kehidupan para budak, melainkan karena Stowe melahirkan novel yang begitu berhasil membuat para pembacanya terharu dan terenyuh membayangkan kehidupan penuh derita seorang budak bernama Paman Tom yang dimiliki petani kaya bernama Arthur Shelby.

Ini bisa menjawab pertanyaan kenapa –misalnya—dwilogi roman “Pacar Merah Indonesia”-nya Matu Mona alias Hasbullah Parinduri yang memaparkan sepak terjang Tan Malaka tak pernah memancing ribuan orang untuk membacanya. Dwilogi “Pacar Merah Indonesia” tidak terlalu berhasil secara literer dan tidak terlalu menggugah pembacanya, setidaknya saya sendiri.

Matu Mona lebih sibuk menyusun kronik perjalanan Tan Malaka ketimbang menciptakan karakter-karakter penunjang lain yang hidup (macam Robert Suurhof atau Trunodongso dalam tetralogi). Kisah melankolik antara Tan Malaka dengan seorang perempuan Thailand tidak semenggugah kisah cinta Minke dengan Annelies atau Ang San Mey. Diskusi politik antara Tan Malaka dengan tokoh PKI macam Musotte (Musso) atau Alminsky (Alimin) tidak sehidup percakapan Minke dengan Jean Marais sewaktu memperdebatkan pilihan menulis dalam bahasa Melayu atau Belanda.

Jangan heran jika tetralogi Buru bisa “mendongkrak” sosok Tirtoadisoerjo dalam narasi sejarah pergerakan Indonesia, lebih dari yang bisa dilakukan tulisannya Soebagjo IN, disertasinya Ahmat Adam atau disertasinya Takashi Shiraishi. Sementara publik dan media lebih berbondong-bondong menoleh kembali pada Tan Malaka berkat disertasinya Harry Poeze, bukan oleh dwiloginya Matu Mona.

Misbahus Surur tidak berlebihan sewaktu (dalam paragraf terakhirnya) menyebut novel sejarah berpeluang menjadi wacana tandingan dari narasi sejarah resmi. Tetapi, seperti yang sudah saya tunjukkan, hanya novel sejarah yang memukau secara literer dan mampu menggugah ribuan pembaca sajalah yang bakal mampu menggoncang diskursus sejarah.

Di situ, perdebatan ihwal seberapa akurat penggambaran historis sebuah novel sejarah menjadi hal sekunder, jika pun akurat, anggap saja itu sebagai bonus bagi pembaca dari sebuah negeri yang narasi sejarahnya boyak di sana-sini. Harapan bahwa novel sejarah bisa maujud sebagai sumber sejarah menjadi perkara nomer dua.

Tugas seorang novelis bukan untuk mengejar akurasi data sejarah agar karyanya bisa diacu sebagai sumber sejarah, melainkan untuk melahirkan novel yang segenap-genapnya berhasil secara literer dan mampu mendongkrak daya gugah pembacanya untuk memertanyakan narasi sejarah dominan yang (mungkin) penuh dusta dan tipu daya.

Hanya kepada novel sejarah yang memenuhi kualitas literer di atas rata-rata sajalah kita bisa berharap, bukan kepada novel yang punya akurasi data sejarah namun jongkok secara literer. Jika itu yang terjadi, novelis tersebut mungkin lebih berbakat menjadi sejarawan ketimbang novelis.