Monday, January 15, 2007

Inspirasi dari Neraka

The Dante Club adalah novel yang memberi kita gambaran bagaimana sebiji puisi bergerak menjadi sebuah etos yang membikin sejumlah orang besar rela menghabiskan banyak waktunya demi menghidupkan “kata-kata”.

Pengarang The Dante Club, Mathew Pearl, menyusun novel perdananya ini berdasarkan latar belakang historis yang terjadi di Amerika Serikat pada pertengahan abad 19, persis ketika Perang Saudara yang meletihkan baru saja usai. Saat itu puisi ada di posisi yang mulia di hati dan pikiran bangsa Amerika. Para penyair menempati kelas sosial yang tinggi. Mereka menjadi selebriti yang kemunculannya selalu dinanti-nanti. Buku-buku puisi laris manis. Jurnal-jurnal kesusastraan bermunculan.

Tetapi Amerika adalah bangsa yang tak sepenuh hati mencintai puisi. Hal itu terlihat dari respon yang muncul terhadap penerjemahan Divina Commedia, puisi panjang karya sastrawan Italia, Dante Alighieri. Ketika Henry Wadsworth Longfellow, penyair Amerika dengan reputasi nomer wahid, sedang menerjemahkan Divina Commedia, para elit agamawan dan akademisi (terutama para guru besar sastra di Harvard) malah berupaya menghalanginya dengan segala cara. Divina Commedia dianggap tak layak menempati rak-rak buku Amerika karena dinilai sebagai karya tak bermoral, melecehkan iman Kristen, sekaligus mencerminkan dekadensi Eropa.

Bagi Longfellow sendiri, menerjemahkan karya Dante adalah kerja yang menjadikannya bersemangat menghadapi hidup. Divina Commedia adalah pelipur lara bagi Longfellow yang baru saja ditinggal mati istrinya.

Longfellow tak sendirian menerjemahkan Divina Commedia. Ia dibantu oleh empat orang karibnya yang sama-sama mencintai Dante: James Russel Lowell (penyair dan Guru Besar Harvard), Oliver Wendell Holmes (penyair dan Guru Besar Kedokteran Harvard), Washington Green (Guru Besar Sejarah) dan James T. Field (bos penerbit Ticknor& Fields). Lima orang ini menamakan dirinya: Klub Dante. Klub inilah yang menjadi cikal bakal dari Dante Society of America yang dideklarasikan pada 1881.

Mereka bertkumpul tiap Rabu malam di The Craigie House, kediaman Longfellow yang hening. Di sana mereka berdiskusi, mengomentari dan memberi masukan terhadap draft terjemahan yang dikerjakan Longfellow.

Di saat yang bersamaan, terjadi serangkaian pembunuhan misterius yang menghebohkan seisi kota Boston. Pembunuhan itu menghebohkan bukan hanya karena menimpa sejumlah nama penting di Boston, melainkan juga karena pembunuhan dilakukan dengan teknik membunuh yang belum pernah dikenal sebelumnya. Pembunuhan dilakukan dengan demikian rapi dan nyaris tak meninggalkan jejak. Polisi sama sekali tak mampu memecahkan kasusnya.

Bagi Longfellow dkk., rangkaian pembunuhan itu benar-benar mengejutkan. Hanya anggota Klub Dante saja yang bisa memahami: pembunuhan itu dilakukan dengan menjiplak teknik penyiksaan yang ada dalam Divina Commedia.

Perlu untuk diketahui, puisi panjang Dante ini terbagi ke dalam tiga bagian Inferno (Neraka Jahanam), Purgatorio (tempat penyucian dosa) dan Paradiso (Surga). Divina Commedia sendiri adalah sebuah karya alegori-naratif yang mengisahkan perjalanan imajiner ke alam akhirat. Di bagian Paradiso, Dante mengisahkan perjalanan Beatrice, perempuan yang dalam kehidupan nyata sangat dicintai Dante, di surga. Di bagian Inferno dan Purgatorio, Dante memilih Virgil sebagai sosok yang dijadikan naratornya untuk mengisahkan dan mendeskripsikan tujuh lapis neraka, berikut detail sadis hukuman penyiksaan yang didera para penghuninya.

Nah, dalam temuan Klub Dante, rangkaian pembunuhan yang terjadi di Boston ternyata menjiplak detail penyiksaan yang disaksikan Virgil dalam Inferno. Dan lewat sebuah penyelidikan yang intensif, diketahui betapa rangkaian pembunuhan itu ternyata selalu terjadi beberapa saat setelah mereka bertemu tiap Rabu malam untuk membahas hasil-hasil terjemahan Longfellow.

Klub Dante pun sadar bahwa di Boston sedang berlangsung dua proyek penerjemahan Divina Commedia: mereka menerjemahkan dengan pena dan yang lain menerjemahkannya dengan darah!

Dante terancam didakwa sebagai inspirator bagi rangkaian kekejian tiada tara yang terjadi di Boston. Masa depan Dante dan semua karyanya betul-betul dipertaruhkan. Oliver Holmes menuntut agar penerjemahan Divina Commedia ditangguhkan. Dia menganggap Klub Dante sedikit banyak memikul tanggungjawab atas horor yang membikin Boston menjadi tak aman.

Soliditas Klub Dante mulai goyah. Mereka terpaksa memertanyakan dan merumuskan ulang eksistensi Klub Dante. Mereka juga harus mengambil keputusan secepatnya: apakah harus aktif menemukan Sang Pembunuh dengan menghadapi resiko yang tak sepele atau membiarkan polisi Boston yang tak tahu sama sekali pengaruh Dante dalam rangkaian pembunuhan itu untuk mengungkapnya tanpa bantuan mereka. Jika pilihan terakhir yang diambil, Klub Dante harus siap jika akhirnya mereka dicurigai polisi.

Mengambil pilihan kedua juga sama dengan membiarkan otoritas Harvard menembakkan “peluru” ke Klub Dante dan juga larya-karya Dante. Atau jangan-jangan memang otoritas Harvard sendiri yang berada di balik rangkaian pembunuhan? Kalau bukan Harvard, lantas siapa? Mungkinkah pembunuhan ini justru dilakukan oleh salah seorang anggota Klub Dante, mengingat orang-orang yang dibunuh ternyata adalah orang-orang yang terlibat dalam konspirasi Harvard untuk mencegah pengaruh Dante di Amerika?

The Dante Club, seperti yang tampak dalam bahasa dan dialog-dialognya, adalah novel yang latar sejarahnya diambil dari sejumlah referensi buku sejarah Amerika. Deskripsi kota Boston masa itu diambil Mathew Pearl dari peta-peta lama. Sedangkan detail sikap dan kelakuan sehari-hari para anggota Klub Dante diadaptasi terutama dari sejumlah puisi, esai, novel, dan surat-surat yang ditulis para anggota Klub Dante sendiri.

Sebagai sebuah novel detektif, The Dante Club memang tak secanggih, misalnya, The Da Vinci Code atau Angels and Demons-nya Dan Brown. Terlihat benar betapa Mathew Pearl tak semahir Brown dalam menghadirkan suspense. Tak banyak kejutan yang terpapar. Belasan halaman sebelum Sang pembunuh muncul, pembaca sudah bisa menebaknya. Kemunculan Sang Pembunuh juga jauh dari dramatis dan sama sekali tidak menghadirkan efek kejut di syaraf pembaca.

Tetapi sebagai sebuah novel sejarah yang mencangkok banyak puisi di helai-helai halamannya, novel ini memang memesona. The Dante Club adalah novel sejarah yang unsur fiksinya berhasil membikin fakta-fakta sejarah menjadi serangkaian kisah yang hidup dan menegangkan, sekaligus berhasil membikin unsur-unsur fiksinya menjadi lebih meyakinkan karena (seakan-akan) memiliki argumen historis yang tak cuma kukuh, melainkan juga detail.

Di tangan Mathew Pearl, Doktor bidang Sastra dari Harvard, yang tahu banyak bagaimana aktivitas para anggota Klub Dante, puisi-puisi yang bertebaran di helai-helai halaman novelnya bukan sekadar menjadi pemanis yang genit, melainkan betul-betul hidup tak ubahnya sebuah karakter, laiknya seorang tokoh manusia saja. Dalam The Dante Club, makhluk bernama puisi bergerak dengan sedemikian rupa dan menyebarkan pengaruh tak terduga ke dalam diri tokoh-tokoh novel ini. Persis seperti peran yang dimainkan puisi dalam film Dead Poets Society.

Judul Buku: The Dante Club
Pengarang: Mathew Pearl
Penerjemah: Agung Prihantoro
Penerbit: Q-Press,
Bandung
Cetakan: I, Agustus 2005
Tebal: 615 halaman