Tuesday, September 21, 2010

Semaoen Menoentoen


“Seorang bocah beperawakan pendek, bercelana panjang, dan berkemaja pendek, semua serba putih, dengan gesitnya menghidangkan air teh. Setelah meletakkan gelas-gelas, ia berdiri tegak dan dalam bahasa Belanda yang lancar mengucapkan selamat datang…. Setelah itu ia membungkuk seperti seorang pengawal kerajaan di istana-istana Eropa dan memerkenalkan namanya: Namaku Semaeon….

(Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca, 1988: hlm. 239)


***

Para buruh Indonesia kembali bangkit dari kuburnya. Dipicu oleh revisi Undang-undang Ketenagakerjaan yang dinilai terlampau doyong ke pihak pengusaha, para buruh berbareng bergerak dalam arus yang mengumbalang ruas jalan-jalan protokol di kota-kota besar, dengan mengusung satu isu yang sama, dan dengan eskalasi yang terus membubung.

Ancaman mereka untuk melakukan mogok nasional jika para buruh tak dilibatkan dalam proses revisi Undang-undang pemicu sumbu itu ditanggapi serius. Presiden bahkan mengundang perwakilan mereka ke istana. Hasilnya jelas: tuntutan mereka agar revisi Undang-undang Ketengakerjaan di bahas ulang dengan melibatkan para buruh pun kabul. Ancaman mogok nasional pada 1 Mei 2006 yang bertepatan dengan Hari Buruh pun akhirnya urung.

Semaoen, seorang ektivis pergerakan yang bisa disebut sebagai salah satu bapak moyang gerakan buruh di negeri ini, pasti senang menyaksikan soliditas kaum buruh dalam hal isu terakhir ini. Apa yang ia harap dan bayangkan ketika menulis brosur Penoentoen Kaoem Boeroeh di penjara Wirogunan Yogyakarta pada 1919, sedikit banyak sudah menuai hasil.

Sebetulnya Semaoen tak perlu menunggu puluhan tahun kemudian untuk menyaksikan para buruh bisa berbareng bergerak, isitilah yang sering ia pakai untuk memerikan satu situasi di mana para buruh bisa bergerak dan berjuang dalam satu barisan yang solid. Semasa ia menjadi pemimpin Sarekat Islam Semarang, yang lazim dikenal sebagai Sarekat Islam Merah, Semaoen sudah berhasil mengorganisir belasan pemogokan dan demonstrasi kaum buruh, yang beberapa di antaranya menuai hasil baik.

***

Sesuai judulnya, Penoentoen Kaoem Boeoroeh (selanjutnya disebut Peneoenton saja) memang diniatkan betul-betul untuk dijadikan panduan, semacam buku ajar, untuk kaum buruh di Hindia Belanda yang berniat mendirikan serikat buruh (vakbond).

Peneoenton terdiri atas 10 bab. Semaoen membuka buku itu lewat sebuah analisis ekonomi politik Hindia Belanda dan dunia secara ringkas dan padat lewat sebuah bab yang dijuduli, Penjebab di Indonesia Ada Perkoempoelan. Semaoen kemudian melaju dengan memerikan 3 tipe perkumpulan buruh yaitu perkumpulan politik yang berorientasi perubahan struktur politik, koperasi yang bertujuan (terutama) mensejahterakan ekonomi kaum buruh dan serikat kerja yang sengaja dibuat untuk membangun solidaritas dan menegakkan kekuatan kaum buruh, baik secara ekonomi maupun politik.

Jika pada dua bab awal Semaoen seperti memerankan seoran analis sosial, pada bab tiga-lah Semaoen hadir sebagai “guru kaum buruh”. Sejak bab itulah, hingga bab 9, Semaoen secara rigid dan mendetail memberikan panduan ihwal bagaimana caranya mendirikan serikat kerja. Di sini Semaoen hadir dengan aura betul-betul sebagai seorang guru kaum buruh yang mengajar bukan dengan teori, melainkan dengan pengalaman seorang pemimpin buruh yang sudah kenyang asam garam medan perlawanan kaum buruh.

Dalam panduannya ini, Semaoen bahkan secara telaten memberi contoh konkrit dari apa yang sedang ia paparkan. Jangan heran jika mulai bab tiga hingga bab 9, Peneoenton kaya oleh contoh-contoh. Ketika ia berbicara tentang maksud didirikannya serikat kerja, ia mencontohkan bagaimana redaksi maksud pendirian sebuah serikat dalam berbaris-baris kalimat yang bisa dipakai dalam statuten (Anggaran Dasar).

Hal yang sama terus berulang tiap kali Semaoen memaparkan pokok-pokok penting daripendirian sebuah serikat kerja, dari mulai bagaimana membuat rumusan asas, bentuk organ, penyusunan kepengurusan, jenis-jenis ikhtiar yang bisa dipakai, hingga teknis pengelolaan uang hasil iuran anggota. Ia juga memberi contoh bagaimana sebuah kartu anggota serikat kerja disusun.

Ketika sedang menguraikan jenis-jenis ikhtiar yang bisa dilakukan serikat kerja dalam bab berjudul Ikhtiar, Alat dan Senjata Vakbond, Semaoen memaparkan apa yang sebaiknya dilakukan oleh sebuah serikat kerja sewaktu hendak menggelar sebuah demonstrasi, aksi boycott (boikot) dan pemogokan. Ketika itulah ia sudah berbicara tentang arti penting “kas mogok” yang bisa dimaksimalkan untuk membantu keuangan anggota serikat yang melakukan mogok maupun yang dipecat.

Pada paragraf terakhir bab itulah Semaoen menuliskan kalimatnya yang kemudian menjadi mayshur: “Pemogokan adalah senjata kaum buruh yang (paling) tajam, tetapi kalau kaum buruh kurang pintar memakainya maka senjata itu bisa membunuh kaum buruh sendiri (senjata makan tuan).”

****

Yang segera membikin takjub tiap kali orang membaca Semaoen adalah betapa di usia yang masih sangat belia ia sudah menjadi salah satu pemimpin pergerakan.

Ia memulai karirnya dengan menjadi anggota aktif Sarekat Islam (SI) afdeling (cabang) Semarang pada usia 13 tahun. Perkenalannya dengan Snevliet, simbah kaum kiri di Hindia Belanda, pada usia 15 tahun membuat laju Semaoen sebagai propagandis makin kencang. Tak lama dari perkenalannya itulah ia sudah menjadi sekretaris ISDV, organ pergerakan radikal yang kebanyakan diisi oleh orang Belanda dan Indo.

Salah satu capaian paling spektakuler dari Semaoen adalah ia sukses “merebut” (SI) Semarang dengan menjadi komisaris pada usia 18 tahun, menggantikan Mohammad Joesoef yang merupakan wakil generasi tua SI. Jalan masuk Semaoen ke puncak tertinggi SI Semarang terjadi setelah ia terlibat polemik yang begitu keras dengan Joesoef soal bagaimana menyikapi penangkapan Marco Kartodikromo. Semaoen berada di sisi ekstrim dengan menyarankan agar SI aktif secara terang-terangan dalam membela Marco (sikap ini didukung mayoritas anggota SI Semarang), berkebalikan dengan Josoef yang condong menjura-jura dan memohon-mohon pada eyang Gubernur Jenderal.

Segera setalah ia sukses merebut kepemimpinan SI Semarang dari angkatan tua, Semaoen langsung membawa SI Semarang tancap gas: menjadi cabang SI paling radikal yang selain progresif dan paling terang benderang menyatakan perang terhadap kolonialisme Belanda. Di bawah suluh ide-ide sosialisme yang terang-terangan merujuk pada Marx itulah, Semaoen menjadi aktor terpenting yang membikin SI Semarang dicap sebagai SI Merah.

Pada 1919 Semaoen akhirnya dijebloskan ke penjara Wirogunan Yogyakarta. Pemicu utamanya karena ia menerjemahkan tulisan Snevliet, Kelaparan dan petonedjoekan Koeasa. Tapi sesungguhnya, pemenjaraan itu sudah direncanakan sejak Semaoen dianggap sebagai propagandis yang berada di balik serangkaian pemogokan buruh selama 1918.

****

Dengan menerbitkan Penoentoen Kaoem Boeoroeh, Semaoen telah mendahului Tan Malaka, Tjokroaminoto, Haji “Merah” Misbach, Soekarno atau Hatta dalam dua hal sekaligus: (1) mengikhtiarkan membumikan ide-ide sosialisme dengan Marx sebagai acuan utama dalam struktur pengetahuan dan kesadaran kaum pergerakan dan (2) dalam hal mencari sebentuk penyesuaian ide-ide itu untuk penduduk Hindia Belanda yang punya struktur sosial, ekonomi, politik dan mental yang berbeda dengan Eropa.

Berbeda dengan kaum sosialis Belanda seperti Sneevliet, Baars, atau Bergsma yang lebih mengedepankan hal-hal yang prinsipil dari ideologi sosialisme dan agar dipraksiskan secara konsisten dengan prinsip dasar ideologi itu, Semaoen (karena menyadari ide sosialisme belum banyak diketahui dan dimengerti) lebih menitikberatkan pada upaya untuk memberi pemahaman rakyat Hindia-Belanda dan para aktivis pergerakan tentang ide-ide sosialisme dan mengupayakan pemahaman itu dengan cara yang lebih mudah.

Penoentoen, seperti yang sudah dipaparkan secara singkat di awal, yang lebih dipenuhi contoh-contoh ketimbang teori-teori yang sofistikatif, adalah upaya Semaoen, yang dilakukan semampu ia bisa dan dengan berbuntal-buntal keterbatasan seorang anak muda, untuk memberi pengertian tentang apa arti sosialisme. Dengan memberi contoh bagaimana menyusun statuten (anggaran dasar), asas, cita-cita dan model perjuangan dalam bentuk konrit berupa redaksi kata-kata yang sudah diselipi dengan kosa kata dan konsep dasar sosialisme, Semaoen telah berupaya merealisasikan hal pertama tadi.

Sementara poin kedua yang menjadi upaya Semaoen bisa diendus jejaknya dari bagaimana Semaoen, lewat Penoentoen itu, memberi titik tekan bahwa perjuangan kaum buruh, tentu juga perjuangan sosialisme, adalah dalam rangka mencapai penghidupan yang selamat pikiran maupun badan, singkatnya menuju kesmepurnaan batin.

Jadi, tak perlu diherankan jika dalam Penoentoen Tuhan Yang Maha Esa masih sering ditemukan dalam sejumlah paragraf; dan dengan itulah Semaoen mendahului (berhasil atau tidaknya usaha Semaoen ini adalah soal lain) Tjokroaminoto, Misbach, Seokarno dan Hatta yang kemudian hari mencoba mengawinkan sosialisme yang berasal dari Eropa dengan struktur keyakinan religius-mitis bangsa Indonesia, dan juga mendahului Tan Malaka, yang juga mencoba “mengawinkan” secara kreatif sosialisme-komunisme dengan kondisi kha Indonesia dengan cara yang berbeda banyak dengan tokoh lain yang disebutkan tadi.

Semua itu mesti diberi satu catatan penting: Semaoen sudah melakukannya pada usia belasan tahun.

------------------------------------------

Buruh yang Bergerak,
Semaoen yang Menuntun
Judul Buku: Penoentoen Kaoem Boeroeh dari Hal Vakbond-vakbond
Penulis: Semaoen
Penerbit: Anonim, Semarang
Cetakan: I, Mei 1920
(Ini edisi pertamanya)

Judul Buku: Penoentoen Kaoem Boroeh dari Hal Sarekat Sekerdja
Penulis: Semaoen
Penerbit: Soeloeh Sosialis 2, Pesindo, Surakarta
Catakan: I, 1946
(Ini edisi yang terbit pasca proklamasi)

Judul Buku: Penoentoen Kaoem Boroeh
Penulis: Semaoen
Penerbit: Jendela, Yogyakarta
Cetakan: I, Juli 2001
Halaman: xiii + 113 halaman
(Ini edisi abad 21. Cover di atas kuambil dari edisi terakhir ini)

Monday, September 20, 2010

Refleksi Tentang Guillotine oleh Albert Camus

“Orang menulis tentang hukuman mati seakan-akan mereka berbisik.”

Beberapa saat menjelang perang 1914, seorang pembunuh yang kejahatannya sangat keji (dia membantai sebauh keluarga petani, termasuk anak-anak) dijatuhi hukuman mati di Aljier. Dia seorang buruh tani yang telah membunuh dalam suatu kegilaan haus darah, namun telah memperburuk kasusnya dengan merampok korban. Kejadian itu menimbulkan kegemparan besar. Secara umum orang berpendapat bahwa penggal leher adalah hukuman yang terlalu ringan bagi monster semacam itu. Saya telah diberitahu bahwa ini pendapat ayah saya, yang sangat tersentuh oleh pembunuhan terhapa anak-anak. Salah satu sedikit hal yang saya ketahui tentang dirinya ialah bahwa dia ingin menyaksikan eksekusi untuk pertama kalinya dalam hidupnya. Dia bangun tidur masih dalam keadaan gelap lalu pergi ke tempat eksekusi di ujung kota di tengah banyaknya kerumunan orang. Apa yang dilihatnya pagi itu tidak pernah dia ceritakan kepada siapa pun. Ibu saya bercerita bahwa ayah bergegas pulang ke rumah, raut mukanya berubah, dan tak mau bicara; berbaring sejenak di tempat tidur, dan tiba-tiba mulai muntah. Dia baru saja menemukan realitas tersembunyi di balik kata-kata indah untuk menutupi kenyataan itu. Alih-alih berpikir tentang anak-anak yang dibantai, dia tidak dapat berpikir apa-apa kecuali tubuh yang gemetar itu yang telah dilemparkan ke atas papan untuk dipenggal lehernya.


Boleh jadi tindakan ritual itu sungguh mengerikan jika sebuah hukuman dianggap sangat pantas, pada akhirnya memberikan efek yang memuakkan. Ketika hukuman estrem hanya menimbulkan kemuakkan, bagaimana mungkin orang bisa percaya bahwa hukuman itu dapat menciptakan perdamaian dan ketertiban yang lebih besar di dalam masyarakat; sebagaimana seharusnya. Sungguh, tak seorang pun berani berbicara secara langsung tentang upacara itu. Para pejabat dan wartawan, yang terpaksa berbicara tentang itu dan seolah-olah menyadari aspek provokatifnya yang memalukan, telah membuat semacam bahasa ritual yang direduksi menjadi frase-frase stereotip. Karena itu, saat makan pagi, kita membaca di halaman surat kabar bahwa orang terkutuk itu “telah membayar utangnya kepada kepada masyarakat” atau dia telah “bertobat” atau “pada pukul lima pagi keadilan ditegakkan”. Para pejabat menyebut orang terkutuk itu sebagai “pihak bekepentingan” atau “pasien” atau menyebutnya dengan angka-angka. Orang menulis tentang hukuman mati seakan-akan mereka berbisik.

Namun, terlepas dari fakta bahwa para penjahat itu bukan satu-satunya yang di-Guillotine di negara kita, metodenya adalah sama. Kita menyembunyikan di balik kata-kata berlapis, suatu hukum yang legitimasinya hanya dapat kita tegaskan setelah kita memeriksa hukuman itu dalam realitas. Daripada mengatakan hukuman itu sangat perlu, ada baiknya tidak usah dibicarakan. Padahal penting untuk mengatakan apa sebenarnya hukuman itu sehingga jelas apakah hukuman itu dianggap perlu atau tidak.

Sejauh yang saya ketahui, saya menganggap hukum itu bukan hanya tidak berguna, tapi juga sangat merugikan, dan saya harus merekam opini saya di sini sebelum membicarakan masalah itu sendiri. Tidak seperti banyak teman sezaman saya yang terkenal, saya tidak berpikir bahwa manusia pada dasarnya adalah binatang sosial. Terus terang saya malah berpikir sebaliknya. Selama bertahun-tahun saya tidak melihat apa pun dalam hukuman mati selain sebuah hukam yang tak tertahankan oleh imajinasi sekalipun dan suatu kekacauan yang malas yang dikutuk oleh akal budi saya.

Seperti hari ini, saya punya keyakinan seperti keyakinan Koestler: hukuman mati menodai masyarakat kita dan para pendukungnya tidak dapat membelanya dengan alasan kuat. Kita semua tahu bahwa argumen besar dari mereka yang membela hukuman mati ialah nilai keteladanan dari hukuman itu. Kepala-kepala dipenggal bukan hanya untuk menghukum, tapi untuk mengintimidasi melalui contoh yang menakutkan, siapa pun yang mungkin tergoda untuk meniru tindakan orang yang bersalah. Masyarakat tidak melakukan pembalasan; masyarakat hanya ingin mencegah. Masyarakat melambaikan kepada itu di udara agar para calon pembunuh akan melihat nasibnya takut melakukannya. Tapi, sejauh ini, tidak ada bukti bahwa hukuman mati pernah membuat seorang pembunuh takut ketika dia telah membuat keputusan, sedangkan jelas bahwa hukuman itu punya efek selain mempesona ribuan penjahat.

Jika masyarakat benar-benar percaya pada hukuman itu, masyarakat akan memamerkan kepala-kepala itu. Masyarakat akan memberikan publisitas terhadap eksekusi-eksekusi itu seperti yang biasa diberikan pada masalah-masalah nasional atau merek baru minuman. Namun, kita tahu bahwa eksekusi-eksekusi di negara kita, alih-alih dilakukan di muka umum, sekarang dilakukan di halaman-halaman penjara di depan sejumlah spesialis. Kecil kemungkinan kita akan tahu mengapa dan sejak kapan. Ini merupakan langkah yang relatif baru.

Eksekusi publik yang terakhir yang terjadi pada 1939, memenggal kepala Weidman, pelaku sejumlah pembunuhan, yang terkenal atas kejahatan-kejahatannya. Pagi itu kerumunan massa berkumpul di Versaillers, termasuk sejumlah besar fotografer boleh mengambil gambar. Beberapa jam kemudian Paris-Soir menerbitkan satu halaman bergambar tentang peristiwa yang membangkitkan keingintahuan itu. Dengan demikian, orang baik-baik dari Paris dapat melihat instrumen berpresisi cahaya yang digunakan sang algojo.

Bertolak belakang dengan semua harapan, pihak penguasa dan pemerintahan menggangap publisitas yang sangat bagus itu dengan sikap sangat buruk dan memprotes bahwa pers telah mencoba memuaskan naluri sadis para pembacanya. Akibatnya, diputuskan bahwa eksekusi-eksekusi tidak lagi akan diadakan di depan umum.

Sebaliknya, bintang jasa khusus harus diberikan kepada editor Paris-Soir sehingga mendorongnya berbuat lebih baik pada lain waktu. Jika hukuman itu dimaksudkan sebagai contoh, maka, bukan hanya foto-foto itu yang harus digandakan, namun mesin Guillotine-nya harus dipajang di podium di Place de la Concorde pada pukul dua siang, seluruh penduduk harus diundang, dan upacara itu harus disiarkan televisi bagi mereka yang tidak dapat hadir untuk menonton secara langsung. Hal ini harus dilakukan, atau jika tidak, mestinya tidak lagi ada pembicaraan tentang nilai keteladanan dari hukuman tersebut.

Bagaimanan mungkin suatu pembunuhan tersembunyi yang dilakukan pada malam hari di halaman penjara dapat menjadi contoh?

Supaya hukuman itu benar-benar menjadi pelajaran, hukuman itu harus menakutkan. Tuaut de La Bouverie, wakil rakyat pada 1791 dan pendukung eksekusi-eksekusi publik, lebih logis mengatakan di depan Majelis Nasional : “Dibutuhkan sebuah pertunjukan yang menakutkan untuk mengendalikan rakyat.”



dikutip dari: hal 221-229, Refleksi Tentang Guillotine,

Albert Camus, Perlawanan, Pemberontakan dan Kematian

Pustaka Promethea (penerbit)