Monday, September 20, 2010

Refleksi Tentang Guillotine oleh Albert Camus

“Orang menulis tentang hukuman mati seakan-akan mereka berbisik.”

Beberapa saat menjelang perang 1914, seorang pembunuh yang kejahatannya sangat keji (dia membantai sebauh keluarga petani, termasuk anak-anak) dijatuhi hukuman mati di Aljier. Dia seorang buruh tani yang telah membunuh dalam suatu kegilaan haus darah, namun telah memperburuk kasusnya dengan merampok korban. Kejadian itu menimbulkan kegemparan besar. Secara umum orang berpendapat bahwa penggal leher adalah hukuman yang terlalu ringan bagi monster semacam itu. Saya telah diberitahu bahwa ini pendapat ayah saya, yang sangat tersentuh oleh pembunuhan terhapa anak-anak. Salah satu sedikit hal yang saya ketahui tentang dirinya ialah bahwa dia ingin menyaksikan eksekusi untuk pertama kalinya dalam hidupnya. Dia bangun tidur masih dalam keadaan gelap lalu pergi ke tempat eksekusi di ujung kota di tengah banyaknya kerumunan orang. Apa yang dilihatnya pagi itu tidak pernah dia ceritakan kepada siapa pun. Ibu saya bercerita bahwa ayah bergegas pulang ke rumah, raut mukanya berubah, dan tak mau bicara; berbaring sejenak di tempat tidur, dan tiba-tiba mulai muntah. Dia baru saja menemukan realitas tersembunyi di balik kata-kata indah untuk menutupi kenyataan itu. Alih-alih berpikir tentang anak-anak yang dibantai, dia tidak dapat berpikir apa-apa kecuali tubuh yang gemetar itu yang telah dilemparkan ke atas papan untuk dipenggal lehernya.


Boleh jadi tindakan ritual itu sungguh mengerikan jika sebuah hukuman dianggap sangat pantas, pada akhirnya memberikan efek yang memuakkan. Ketika hukuman estrem hanya menimbulkan kemuakkan, bagaimana mungkin orang bisa percaya bahwa hukuman itu dapat menciptakan perdamaian dan ketertiban yang lebih besar di dalam masyarakat; sebagaimana seharusnya. Sungguh, tak seorang pun berani berbicara secara langsung tentang upacara itu. Para pejabat dan wartawan, yang terpaksa berbicara tentang itu dan seolah-olah menyadari aspek provokatifnya yang memalukan, telah membuat semacam bahasa ritual yang direduksi menjadi frase-frase stereotip. Karena itu, saat makan pagi, kita membaca di halaman surat kabar bahwa orang terkutuk itu “telah membayar utangnya kepada kepada masyarakat” atau dia telah “bertobat” atau “pada pukul lima pagi keadilan ditegakkan”. Para pejabat menyebut orang terkutuk itu sebagai “pihak bekepentingan” atau “pasien” atau menyebutnya dengan angka-angka. Orang menulis tentang hukuman mati seakan-akan mereka berbisik.

Namun, terlepas dari fakta bahwa para penjahat itu bukan satu-satunya yang di-Guillotine di negara kita, metodenya adalah sama. Kita menyembunyikan di balik kata-kata berlapis, suatu hukum yang legitimasinya hanya dapat kita tegaskan setelah kita memeriksa hukuman itu dalam realitas. Daripada mengatakan hukuman itu sangat perlu, ada baiknya tidak usah dibicarakan. Padahal penting untuk mengatakan apa sebenarnya hukuman itu sehingga jelas apakah hukuman itu dianggap perlu atau tidak.

Sejauh yang saya ketahui, saya menganggap hukum itu bukan hanya tidak berguna, tapi juga sangat merugikan, dan saya harus merekam opini saya di sini sebelum membicarakan masalah itu sendiri. Tidak seperti banyak teman sezaman saya yang terkenal, saya tidak berpikir bahwa manusia pada dasarnya adalah binatang sosial. Terus terang saya malah berpikir sebaliknya. Selama bertahun-tahun saya tidak melihat apa pun dalam hukuman mati selain sebuah hukam yang tak tertahankan oleh imajinasi sekalipun dan suatu kekacauan yang malas yang dikutuk oleh akal budi saya.

Seperti hari ini, saya punya keyakinan seperti keyakinan Koestler: hukuman mati menodai masyarakat kita dan para pendukungnya tidak dapat membelanya dengan alasan kuat. Kita semua tahu bahwa argumen besar dari mereka yang membela hukuman mati ialah nilai keteladanan dari hukuman itu. Kepala-kepala dipenggal bukan hanya untuk menghukum, tapi untuk mengintimidasi melalui contoh yang menakutkan, siapa pun yang mungkin tergoda untuk meniru tindakan orang yang bersalah. Masyarakat tidak melakukan pembalasan; masyarakat hanya ingin mencegah. Masyarakat melambaikan kepada itu di udara agar para calon pembunuh akan melihat nasibnya takut melakukannya. Tapi, sejauh ini, tidak ada bukti bahwa hukuman mati pernah membuat seorang pembunuh takut ketika dia telah membuat keputusan, sedangkan jelas bahwa hukuman itu punya efek selain mempesona ribuan penjahat.

Jika masyarakat benar-benar percaya pada hukuman itu, masyarakat akan memamerkan kepala-kepala itu. Masyarakat akan memberikan publisitas terhadap eksekusi-eksekusi itu seperti yang biasa diberikan pada masalah-masalah nasional atau merek baru minuman. Namun, kita tahu bahwa eksekusi-eksekusi di negara kita, alih-alih dilakukan di muka umum, sekarang dilakukan di halaman-halaman penjara di depan sejumlah spesialis. Kecil kemungkinan kita akan tahu mengapa dan sejak kapan. Ini merupakan langkah yang relatif baru.

Eksekusi publik yang terakhir yang terjadi pada 1939, memenggal kepala Weidman, pelaku sejumlah pembunuhan, yang terkenal atas kejahatan-kejahatannya. Pagi itu kerumunan massa berkumpul di Versaillers, termasuk sejumlah besar fotografer boleh mengambil gambar. Beberapa jam kemudian Paris-Soir menerbitkan satu halaman bergambar tentang peristiwa yang membangkitkan keingintahuan itu. Dengan demikian, orang baik-baik dari Paris dapat melihat instrumen berpresisi cahaya yang digunakan sang algojo.

Bertolak belakang dengan semua harapan, pihak penguasa dan pemerintahan menggangap publisitas yang sangat bagus itu dengan sikap sangat buruk dan memprotes bahwa pers telah mencoba memuaskan naluri sadis para pembacanya. Akibatnya, diputuskan bahwa eksekusi-eksekusi tidak lagi akan diadakan di depan umum.

Sebaliknya, bintang jasa khusus harus diberikan kepada editor Paris-Soir sehingga mendorongnya berbuat lebih baik pada lain waktu. Jika hukuman itu dimaksudkan sebagai contoh, maka, bukan hanya foto-foto itu yang harus digandakan, namun mesin Guillotine-nya harus dipajang di podium di Place de la Concorde pada pukul dua siang, seluruh penduduk harus diundang, dan upacara itu harus disiarkan televisi bagi mereka yang tidak dapat hadir untuk menonton secara langsung. Hal ini harus dilakukan, atau jika tidak, mestinya tidak lagi ada pembicaraan tentang nilai keteladanan dari hukuman tersebut.

Bagaimanan mungkin suatu pembunuhan tersembunyi yang dilakukan pada malam hari di halaman penjara dapat menjadi contoh?

Supaya hukuman itu benar-benar menjadi pelajaran, hukuman itu harus menakutkan. Tuaut de La Bouverie, wakil rakyat pada 1791 dan pendukung eksekusi-eksekusi publik, lebih logis mengatakan di depan Majelis Nasional : “Dibutuhkan sebuah pertunjukan yang menakutkan untuk mengendalikan rakyat.”



dikutip dari: hal 221-229, Refleksi Tentang Guillotine,

Albert Camus, Perlawanan, Pemberontakan dan Kematian

Pustaka Promethea (penerbit)