Sunday, August 19, 2012

Sejarah Mati di Kampung Kami

Cerita oleh Nezar Patria

TAK terbayangkan: rumah itu kini musnah! Sebulan lalu saya masih bisa tidur nyenyak di lotengnya. Kini tinggal selembar dinding beton menuding langit. Gentengnya terbang entah ke mana. Tingkap di lantai atas tak lagi berdaun. Kusen pintu meregang. Di ruang tamu, kursi-kursi jungkir balik berselimut lumpur legam. Satu pot keramik Cina warisan keluarga hancur berkeping.

Di pekarangan, tak ada lagi taman kesayangan ibu. Bunga suplir, anyelir, dan rumput jepang yang dulu hijau subur itu kini tumpas. Dari pelbagai penjuru, gunungan sampah kayu seperti berebut masuk ke dalam rumah.

Laut masih lima kilometer jauhnya, tapi satu kapal besar terdampar setengah tertelungkup di depan rumah kami. Di bawahnya, satu mobil sedan entah milik siapa tergencet remuk. Pagar besi ambruk. Di luar pintu garasi, ada dua mobil bertindihan seperti roti baru dipanggang. Satu milik keluarga kami, satunya lagi punya tetangga.

Di atas mobil kami, jasad Yusuf dan Nurhayati, tetangga dekat, terbujur kaku. Suami-istri itu tamat bersama seorang cucunya. Di selokan, ada mayat bercelana jins. Saya tak bisa mengenalinya: kepalanya tersuruk ke dalam gorong-gorong.

Tak satu pun rumah tetangga masih berdiri tegak ketika saya menjenguk Kampung Mulia, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh. Semua bangunan rata tanah. Saya bersyukur keluarga kakak saya, yang menghuni rumah kami, selamat. Batas satu rumah dengan yang lain telah lebur. Hanya padang lumpur membenamkan puing dan reruntuhan. Jalan dan lorong-lorong kampung lenyap. Saya mendadak kehilangan ruang. Dan juga sejarah.

Berdiri sekitar 35 tahun silam, rumah kami termasuk pionir. Dulu tempat itu termasuk pinggir kota. Hanya ada satu-dua rumah, selain gubuk kayu peninggalan keluarga ibu. Selebihnya rawa. Baru sepuluh tahun kemudian daerah itu menjadi hunian padat. Rumah-rumah muncul berderet dengan batas tembok yang sesak. Lima tahun lalu, dengan tata kota yang amburadul, pertokoan bahkan menyelinap di antara rumah warga.

Di kampung itu saya tumbuh. Kampung kami berbatasan dengan Peunayong, satu-satunya daerah pecinan dan pasar yang selalu gaduh. Asal-usul warga kampung kami cukup beragam. Umumnya berasal dari berbagai daerah di Aceh. Tetangga belakang rumah saya keluarga Cina yang tiba di kampung itu lebih dulu dari kami. Leluhur A Lung, tauke tahu tetangga kami itu, datang ke Aceh masih semasa Perang Aceh yang garang itu.

Saya mengenangnya sebagai tetangga yang baik. Dari dia kami berlangganan susu kedelai dan tahu. Rumahnya berbatasan meunasah (musala) warga, Al-Anshar. Kini meunasah kecil itu telah menjadi masjid setengah jadi. Dulu listrik kerap padam di kota kami. A Lung sering menghidupkan petromaksnya saat listrik mati. Dia membawa lampu pompa itu ke pintu meunasah agar warga yang sedang salat magrib atau isya tidak beribadah dalam gelap. Rumah A Lung saya lihat hancur berhamburan. Saya tak tahu apakah dia dan keluarganya selamat.

Saya juga melihat rumah Bang Zaini, tetangga depan rumah. Remuk. Bang Zaini pegawai negeri senior, cukup populer di kampung kami dengan sebutan Mas Tom. Saya tak tahu bagaimana asal-usul nama itu melekat padanya. Dari cerita kakak, saya tahu dia dan keluarganya selamat dengan naik ke gedung bertingkat dua, tiga ratus meter dari rumahnya.

Air, kata kakak, datang bergulung-gulung dengan cepat. Tingginya sekitar lima meter. Untunglah, dia sempat berlari bersama suami dan dua anaknya ke bangunan sekolah dasar, tak jauh dari rumah. "Kapal berputar seperti gasing dibawa gelombang besar air," ujar kakak saya, Rita. Jarak dia dan air itu hanya sekitar dua ratus meter.

Suaminya cekatan mendobrak pintu sekolah itu dan mereka anak-beranak langsung naik ke lantai dua. Hanya beberapa detik, air langsung memenuhi lantai dasar gedung sekolah itu, membenamkan meja dan kursi sekolah kanak-kanak.

Seluruh perkampungan kami kini hilang. Tak jelas berapa warga yang tersisa dan selamat. Saya berjalan kaki masuk ke perbatasan Lampulo, perkampungan rakyat yang berdiam di pinggir Krueng Aceh. Hanya sedikit bangunan yang berdiri dan tak lengkap. Sebuah taman makam di perbatasan kampung rata dengan tanah. Hanya nisan berbatu datar yang tersisa. Tak ada lagi pagar dan bunga kemboja. Di sebuah rumah masih terlihat mayat tertelungkup dengan kulit lebam hitam. Bencana itu sudah hampir dua pekan berlalu. Tapi puluhan ribu mayat di penjuru kampung-kampung memang belum bisa terangkut semua untuk dikuburkan.

Sejauh mata memandang, perkampungan lain bernasib sama. Rata-rata permukiman itu berjarak lima kilometer dari garis pantai. Di Ulee Lheu, pelabuhan tua di ujung barat Banda Aceh, air menyeret semua benda hidup dan mati, lalu melemparnya ke tengah kota. Begitu juga permukiman di kawasan timur, seperti permukiman baru di Jeulingke, Peurada, Kahju, dan Cadek, yang menjorok ke pantai Krueng Raya. Semua tandas tak bersisa. Puluhan kampung padat di Banda Aceh mendadak lenyap dari peta kota.

"Satu generasi kampung nelayan asal Meuraksa kini sudah punah," ujar Ramzi, 34 tahun. Dia barangkali generasi terakhir dari wilayah tua Banda Aceh itu. Mereka hidup berpuak, saling bersaudara dengan tradisi masyarakat pinggir pantai. Ramzi sempat mencatat hanya 98 orang yang selamat di Deah Teungoh, kampungnya di Kecamatan Meuraksa. Sekitar 170 keluarga di dusun itu dipastikan hilang. Mereka mungkin ada yang selamat. Tapi barangkali juga termasuk di antara 50 ribu mayat warga Banda Aceh dan Aceh Besar yang telah dimakamkan sampai Sabtu pekan lalu.

Di depan rumah, saya tercenung. Kampung-kampung kami kini hilang. Tak ada catatan yang tersisa. Di antara puing rumah, saya mencari foto keluarga dan gambar-gambar yang merekam masa kecil. Tak ada yang bisa ditemukan dari usaha sepanjang petang itu. Di langit, kawanan undan terbang di atas kampung kami, suatu pemandangan yang jarang sebelum bencana tiba.

Bau laut kini tercium sampai ke bekas permukiman warga kota yang porak-poranda itu. Pahit. Saya mendadak kehilangan ruang. Dan juga sejarah.

-- majalah Tempo, Edisi. 46/XXXIII/10 - 16 Januari 2005