Thursday, March 15, 2007

Bukan David yang Melawan Goliath

David” adalah novel perdana seorang pengarang muda. Membaca novel ini membuat saya mudah menebak kalau pengarangnya, AN Ismanto, adalah seorang yang tekun membaca banyak karya sastra, baik lokal maupun asing.

Di helai-helai halaman novel ini akan ditemukan sejumlah fragmen yang tak bisa disebut kacangan. Misalnya ketika si tokoh utama, David, sedang melakukan monolog interior ihwal beda antara manusia dan pepohonan (h. 5-6). Atau saat tokoh yang sama melakukan –lagi-lagi- monolog interior tentang manusia pertama (Adam) dan manusia kedua (entah siapa namanya) serta kemungkinan kalau dirinya adalah titisan dari manusia kedua yang diusir dari surga karena memakan buah khuldi bukan karena godaan dari iblis yang menyaru ular, melainkan semata karena pilihan bebasnya (hal 67-72).

Tetapi bukan berarti novel ini tak punya nila. Dalam hal-hal tertentu, nila yang menguar dari novel ini justru muncul dalam hal krusial yang sedari awal direncanakan menjadi kekuatan novel ini.

“David” tampak benar diniatkan sebagai novel yang menjadi panggung di mana minat (mungkin juga obsesi) pengarangnya dalam menampilkan karakter dan karakterisasi digelar.

Novel ini mengisahkan dunia batin sejumlah pribadi, dari mulai David yang jadi tokoh utama, kemudian Alfa, Mega, juga Guli. Saya menyebut “dunia batin” karena sekujur novel ini memang memaparkan dan mengisahkan “dunia batin” tokoh-tokohnya, lengkap dengan mimpi-mimpinya, cita-citanya, hingga dilema dan ketegangan esksitensial yang dihadapi.

Saya juga menyebut “dunia batin” karena kebanyakan gejolak eksistensial yang dihadapi kebanyakan diakibatkan pikiran-pikiran mereka sendiri. Sehingga seringkali terjadi seorang tokoh bisa bingung, kalut, atau gembira hanya karena mendadak ada pijar cahaya di ufuk timur saat fajar mulai mengembang, misalnya.

Karakter-karakter novel ini bukan karakter yang mudah dijumpai dalam keseharian. Semuanya unik. Tak biasa. Saya membayangkan, apa jadinya kalau orang-orang tersebut nyata ada dan sempat berkumpul bersama. Mungkin peserawungan mereka mirip perjumpaan orang-orang di Academia Plato di Yunani baheula.

Tentu saja itu bukan hal tabu. Salah satu kelebihan novel ketimbang puisi, cerpen atau naskah drama justru terletak pada keluasan dan keleluasaan yang dipunyai pengarang untuk menghamparkan karakter lengkap dengan karakterisasinya yang kompleks, menghadapi banyak dilema dan paradoks serta tidak hitam-putih.

Novel dengan corak psikologis yang kental memang biasanya akan mengambil titik pusat perkisahan pada karakter-karakter, tepatnya dunia batin. Dialog, pemeriaan alam atau tampilan suasana dibangun untuk memerjelas dinamika dunia batin itu.

Berhasil memilih tipe-tipe karakter yang unik yang ditopang oleh teknik dialog yang cukup variatif, novel ini sayangnya justru kurang berhasil meyakinkan pembaca bahwa karakter-karakter itu memang punya penjelasan yang cukup memuaskan ditilik dari logika novel realis-psikologis yang menjadi genre novel ini. Karakter-karakter di novel ini seperti hadir begitu saja, seakan dari suatu kekosongan sejarah. Tak terlalu mengherankan jika pilihan-pilihan yang diambil tiap kali para tokohnya menghadapi dilema seringkali terjadi begitu saja dengan ringannya.

Kendati ada sedikit celah ketika tak jelas kenapa Alfa yang merupakan anak baik semasa kecil dan sekolah mendadak menjadi pemabuk dan penjudi ketika sedang merantau dan menjadi kuli di sebuah kota besar, pengarang (hanya) relatif berhasil menghadirkan Alfa yang gejolak batinnya hadir secara alamiah dan wajar. Di luar Alfa, termasuk sosok David, tokoh-tokoh itu punya kesan agak dibuat-buat.

Tak cukup jelas pula kenapa David digambarkan sebagai lelaki dengan badai dan masa lalu yang mengeram dengan buas di tubuhnya. Guli pun mendadak bisa mengetahui rahasia Mega yang hidup free sex (termasuk dengan Pak Joko), padahal sebelumnyaGuli sama sekali tak paham kenapa Mega dan Joko saling menatap dengan aneh.

Saya juga tak mendapatkan penjelasan kenapa David memilih untuk tinggal di sebuah rumah yang terpencil dan terpisah dari keramaian. Tapi anehnya, tanpa sebuah renungan yang panjang sofistikatif seperti biasanya, David bisa dengan entengnya menerima undangan minum teh di rumah Alfa dan tentu saja berarti membuka cangkang isolasi si David yang sedari awal dengan susah payah dibangun pengarangnya.

Saya mencoba untuk mencari penjelasannya pada “spontanitas”. Mungkin pengarang ingin menyampaikan betapa spontanitas bisa lebih menguasai/memengaruhi pilihan yang diambil manusia ketimbang penjelasan kausalitatif.

Tetapi argumen itu bisa patah mengingat sedari awal tampak jelas bahwa pengarang sedang menyiapkan tokoh-tokoh yang hobi melakukan sofistikasi, yang bahkan hanya karena soal pijar cahaya, duri ikan nila atau pintu rumah yang selalu tertutup, misalnya, bisa direnungkan begitu lama. Hal aitu bisa tampak dari banyaknya fragmen tentang perang kekuatan mata antar tokoh dan yang kalah dalam pertarungan mata akan kehilangan kekuatan, lengkap dengan sofistikasi si tokoh yang kalah dari perang kekuatan mata itu terhadap kekalahannya (sesuatu yang sedikit banyak mengingatkan saya pada fragmen “lubang kunci”-nya Sartre yang termasyhur itu).

Saya agak khawatir tokoh-tokoh di novel ini memang sudah sedari awal direncanakan dengan rigid dan mendetail oleh pengarangnya. Akhirnya tokoh-tokoh di sini pun terasa kurang daya spontanitasnya.

Pembukaan novel ini makin menguatkan kesan itu. Bab yang membuka novel ini bisa dibaca seperti senarai definisi tentang waktu dan bagaimana waktu hadir menjadi monster yang menelan manusia. Sayangnya, manusia-manusia dengan deretan karakteristiknya di novel ini hadir, hidup dan pergi begitu saja; seakan-akan bukan ditelan waktu, tetapi dibuntal oleh pikiran-pikirannya sendiri.

Sila anda bayangkan seperti apa sebuah novel yang dibuka oleh senarai definisi. Menurut hemat saya, bab 1 relatif mubazir. Jika pembaca melewatkan bab 1 dan langsung melangkah ke bab 2 pun kisah ini bisa tetap dibaca tanpa problem yang cukup berarti.

Pengarang yang kelihatan berbakat dan punya kecakapan teknis ini sayangnya terasa terlalu berkuasa atas ceritanya sehingga (jika peristilahan Milan Kundera bisa dipakai di sini) “pengarang jadi tampak lebih cerdas dari novelnya”.

David dan Guli di sini bukanlah David atau Goliath seperti yang kita kenal dalam kisah bangsa Yahudi melainkan hasil rekacipta yang terlalu dikontrol oleh (katakanlah) ide-ide pengarangnya tentang siapa, apa dan bagaimana mahluk bernama manusia mengarungi medan waktu.

Judul Novel: David
Pengarang: AN Ismanto
Penerbit: Grafindo Litera Media,
Yogyakarta
Cetakan: I, Februari 2006
Halaman: viii + 207 halaman