Monday, February 19, 2007

Jika Pribumi Dipaksa Merayakan Kemerdekaan Penjajahnya

Hingga tahun penerbitannya dan bertahun-tahun kemudian, brosur Seandainya Saya Orang Belanda menjadi tulisan paling tajam dan menohok kolonialisme Belanda persis di jantungnya yang pernah ditulis dan diterbitkan di Hindia-Belanda. Dan yang lebih mengejutkan, tulisan itu lahir bukan dari pena seorang Tjiptomangoenkoesoemo yang saat itu dianggap sebagai bumiputera yang paling galak terhadap pemerintah kolonial, melainkan buah pena seorang aristokrat dari Kraton Pakualaman Yogyakarta: Soewardi Soerjaningrat.

Masa menjelang penerbitan brosur Seandainya Saya Orang Belanda, memang merupakan tahun yang tak ramah bagii setiap aktivisme politik para pemimpin pergerakan, terutama dikarenakan terbitnya Peraturan Pemerintah Artikel 111 yang mengekang semua aktivitas yang berbau politik. Gerik politik pra pemimpin pergerakan dan organ-organnya dianggap membahayakan, tidak hanya kepentingan para penanam modal di Hindia-Belanda, melainkan dinilai bisa mennggoyahkan pula roda pemerintahan kolonial.

Suhu politik makin bertambah panas setelah pada Juli 1913 tersiar kabar tentang keinginan masyarakat Belanda yang tinggal dan menetap di Hindia-Belanda untuk merayakan 100 tahun kemerdekaan negeri Belanda dari bangsa Prancis yang semasa dipimpin Napoleon Bonaparte berhasil menduduki negeri Belanda. Yang paling kontroversial adalah permintaan agar penduduk di Hindia-Belanda secara sukarela menyumbangkan uang untuk membiayai perayaan kemerdekaan Belanda, persis pada saat mereka, rakyat Hindia-Belanda, masih sedang getir-getirnya di jajah.

Untuk kepentingan menentang usulan tersebut dibentuklah sebuah panitia yang dipimpin oleh Dr. Tjipto sebagai Ketua dan RM Soewardi sebagai sekretaris. Panitia itu diberi nama Komite Boemipoetra oentoek peringatan 100 Tahoen Kemerdekaan Negeri Belanda. Komite itu segera menerbitkan bulettin yang isinya berupa surat edaran agar penduduk tidka memberikan sumbangan kepada Pamong Praja yang hendak mengumpulkan dana sukarela.

Seperti sudah diduga, pemerintah kolonial gerah. Pemerintah akhirnya mulai melakukan tindakan-tindakan paksaanyang semakin memanaskan situasi. Tapi itu belum seberapa. Beberapa aat kemudian, persisnya pada 19 Juli 1913. Komite Boemipoetra menerbitkan bulettinnya yang kedua yang berbentuk sebuah brosur karangan RM Soewardi Soerjaningrat yang berjudul Als Ik Eens nederland Was. Pemerintah makin jengkel ketika brosur itu akhirnya diterbitkan dalam bahasa Melayu dengan judul Seandainya Saya Orang Belanda. Kehebohan makin menghumbalang karena terjemahan itu memungkinkan makin banyak orang yang bisa membaca dan memhamainya secara seksama.

****
Brosur Seandianya ditulis dengan bahasa yang halus dengan struktur kalimat yang sempurna betul. Brosur itu sendiri pada dasarnya adalah sebuah sindiran yang tajam yang mana sindiran itu di separuh bagian di antaranya digelontorkan dengan sebuah pengandaian yang, selain cerdas, juga begitu halus. Barulah ketika sampai di seperempat akhir tulisannya, Soewardi menanggalkan semua kehalusan sindir-menyindir dan merengsek maju dengan gaya bahasa yang menjompak-jompak dan meninju langit.

Di awal-awal, pembaca akan sukar menebak mau ke mana arah tulisan Soewardi. Tetapi menginjak pada paragraf keempat, arah yang ingin disasar itu pelan-pelan mulai menyingsing. Dia menulis: “…Sebagaimana halnya orang Belanda yang nasionalis sejati mencintaii tanah airnya, saya pun mencintai tanah air sendiri, lebih dari apa yang dapat saya gambarkan dengan kata-kata. Alangkah gembiranya hati, alangkah nikmatnya dapat turut memeringati hari nasional yang demikian penting artinya.”

Dengan sejumlah pengandaian yang jelas-jelas superlatif, Soewardi memaparkan apa yang akan ia lakukan jika dirinya merupakan seorang Belanda yang sedang merayakan kemedekaan negeri yang sungguh dicintainya setengah mati-separuh hidup itu. Ia berandai bahwa didirnya niscaya akan “berseru-seru dengan hati gembira”, “dengan tak jemu menyanyikan ‘Wilhelmus’ dan Wien Nederland Bloed’”, “akan memanjatkan do’a di gereja”, dll.

Memeasuki sepersempat halaman brosurnya, Soewardi makin tegas menunjukkan sikap. Ketegasan itu dimulai dengan sebuah parafrase yang begitu sopan dan tertata: “Saya berpendapat, kiranya kurang sopan, rasanya memalukan dan tidak layak jika kita -- dalam angan-angan saya, saya masih seorang Belanda—mengajak orang-orang pribumi turut bersorak-sorak dalam perayaan hari kemerdekaan kita.”

Masih dengan pengandaian sebagai orang Belanda, Soewardi mengajak orang Belanda untuk berpikir: Tidakkah mengajak rakyat Hindia-Belanda yang terjajah untuk merayakan kemerdekaan tuannya akan membawa rakyat Hindia-Belanda membayangkan saat-saat menggembirakan hati rakyat Belanda sewaktu bebas dari kangkangan Napoleon?

Sejak itulah nada tulisan Soewardi makin galak, kendati ia masih terus mengandaikan diri sebagai orang Belanda. Ia misalnya sudah menulis bahwa Belanda dengan demikian sudah menghina pribumi dengan mengajaknya merayakan kemerdekaan penjajahnya, dan itu diperparah dengan mengajak mereka memberikan sumbangan uang sukarela untuk biaya perayaan itu.

Selanjutnya, masih dengan pengadaian sebagai orang Belanda, Soewardi membayangkan dirinya akan melakukan protes terhadap gagasan perayaan kemerdekaan di negeri jajahan. Ia mengandaikan dirinya akan menulis di surat-surat kabar bahwa betapa berbahanya mengadakan pesta kemerdekaan di negeri jajahan. Dalam analisinya, hal itu selain akan melukai rakyat Hindia-Belanda, pesta perayaan itu akan membikin rakyat Hindia-Belanda, dalam kata-kata Soewardi sendiri, “berbuat yang tidak-tidak”.

Pada seperempat bagian akhir tulisannya, persisnya 9 paragraf menjelang tulisannya berakhir, Soewardi menulis sebuah kalimat dengan nada seperti seorang ksatria, barangkali seperti seorang Scarlet Pimpernal dalam cerita Barones Orczy, yang baru saja membuka topengnya dan berujar: “Syukur alhamadulillah, saya bukan seorang orang Belanda.”

Persis setelah kalimat yang membelokkan tulisan Soewardi ke arah yang lebih tegas itu, Soewardi lantas menulis dengan nada bak seorang ksatria, laiknya Scarlet Pimpernal yang sedang membuka rahasia senjatanya, kalimat berbunyi: “Sekarang sebaiknya kita kesampingkan saja segala ironi.”

“Ironi” di situ, seperti sependakuannya sendiri, digunakan memang untuk menohok, menghajar, sistem kolonial dan subsistemnya yakni berupa himbauan agar rakyat Hindia-Belanda ikut dalam pesta perayaan kemerdekaan penjajahnya sekaligus secara sukarela mengumbangkan uang.

Setelah kalimat itu, nada tulisan Soewardi makin jelas. Ada dua pokok yang disampaikan Soewardi secara tegas dan lugas di akhir tulisannya yang paling legendaris itu. Pertama, penolakan tegas dan tanpa kompromi akan ide perayaan kemerdekaan Belanda di Hindia-Belanda. Kedua, tuntutan agar segera dibentuk sebuah badan perwakilan rakyat, semacam parlemen barangkali.

***
Begitu terbit, brosur itu langsung mendapat sambutan luas dan hangat dari suratkabar-suratkabar. Harian de Expres pimpinan Douwes Dekker bahkan menyiarkannya secara lengkap.

Seminggu kemudian, persisnya pada 20 Juli 1913, pemerintah kolonial mengumukan pelarangan atas brosur itu. Aparat kejaksaan lantas menyita brosur tersebut dari berbagai toko buku dan kantor-kantor surat kabar. Sedang percetakannya, de Eerste Bandoengsche Publicatiemaatschappij, digerebek, namun di sana hanya ditemukan sejumlah kecil eksemplar brosur karena sudah tersebar nyaris di kota-kota penting di antero Jawa. Soewardi sendiri, plus Tjipto, Douwes Dekker (yang bertanggungjawab atas pemuatan di de Express yang dipimpinnya) dan Abdoel Moeis (yang menerjemahkannya ke dalam bahas Melayu ditangkap dan diiinterogasi).

Brosur itu kemudian dicatat oleh Schavitri Scherer sebagai esei paling berkesan, tajam dan provokatif yang pernah diusun sampai pada waktu penerbitannya. Pandangan-pandangan yang diungkapkannya mendahului setiap gagasan yang dikemukakan oleh cendekiawan-cendekaiwan Jawa lain yang palling sadar politik sekali pun.

Daya ledak tulisan itu bukan semata karena nada provokatifnya melainkan juga karena implikasi-implikasi politiknya yang lebih luas, dan karena artikel itu diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan kemudian dibagikan sebagai surat selebaran terpisah yang memungkinkan orang-orang yang tak dapat berbahasa Belanda membacanya.

Sebetulnya bukan sekali ini muncul kritik pedas. Hanya saja, kritik itu, kendati provokatif, seringkali hanya sebagai kapandaian mengemukakan gagasan belaka dan bukan aksi pengerahana rakyat. Tetapi dengan menggunakan peringatan 100 tahun kemerdekaan Belanda sebagai titik tekan untuk menarik massa dan lebih jauh lagi dengan menerjemahkannya ke dalam Melayu, Soewardi sedang memastikan suatu jumlah pendukung yang lebih luas.

Dan lewat brosur Soewardi-lah pemerintah kolonial disadarkan bahwa perlawanan sudah menemukan bentuknya yang baru dan tegas. Hanya sejak brosur Soewardi terbit sajalah pemerintah benar-benar secara sungguh-sungguh menganggap kritik-kritik sebagai sebuah ancaman berat terhadap kemantapan pemerintah kolonial. Sebelumnya, paling banter gagasan-gagasan galak itu hanya beredar di kalangan terbatas saja.

Bagi Soewardi sendiri, yang kelak pada usia 40-an mengganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara, brosurnya itu merupakan puncak dari sikap radikal yang dinyatakan secara tegas dan terang-terangan. Terutama setelah pembuangannya ke negeri Belanda, seperti dicatat lagi-lagi oleh Savitri Scherer, Soewardi kemudian memilih lapangan kebudayaan ketimbang aktivitas politik. Dan di lapangan itulah Soewardi mulai menoleh warisan Jawa-nya, dan meninggalkan garis radikal sewaktu ia muda.

Ya… meninggalkan garis itu lewat sebuah kepergian yang tak mungkin kembali.

Judul: Seandainya Saya Orang Belanda
Judul Asli: Als Ik eens Nederland Was
Penulis: RM Soewardi Soerjaningrat
Penerbit: Komite Boemipoetra oentoek Peringatan 100 Tahoen Kemerdekaan Belanda
Cetakan: I, 1913