Tuesday, April 10, 2007

Menjinakkan Idenititas

Identitas, tulis Maalouf dalam salah satu pasase yang membuka In the Name of Identity, adalah apa yang ‘mencegah’ saya menjadi identik dengan orang lain.

Kata ‘mencegah’ hadir untuk menandai aktifitas merumuskan, menentukan, atau bahkan menciptakan pengertian-pengertian dan kategori-kategori, yang dari sana garis batas antara ‘saya’ dan ‘engkau’ atau ‘kami’ dan ‘kalian’ atau ‘kita’ dan ‘mereka’ dibentangkan. Dari garis batas itulah bersemai ide-ide tentang ‘cinta’ dan ‘benci’, ‘mulia’ dan ‘hina’, ‘unggul’ dan ‘pecundang’, dan akhirnya ‘penindas’ dan ‘tertindas’.

Orang atau kelompok yang menjadi minoritas di suatu tempat (misalnya kulit hitam di Amerikaatau Yahudi di Jerman pada masa Hitler), niscaya akan menyadari bagaimana sejarah telah membuat faksi-faksi: sejarah telah jadi ruang yang eksklusif, menunjukkan ras, menegaskan biologi, lalu mengukuhkan supremasi. Dalam lingkaran konsentris agresi itu, identitas mudah ditangkap sebagai sesuatu yang tunggal, utuh, pejal, ajek, majal dari waktu dan perubahan. Semacam gestalt. Kosa kata bahasa Indonesia mengenal kata ‘jati diri’ yang amat pas menggambarkan identitas dalam pengertian di atas: seakan-akan diri adalah sesuatu yang sejati, asli, antik.

In the Name of Identity hadir untuk menyuarakan cara pandang yang berbeda atas identitas. Seperti Out of Place-nya Edward Said, atau Finding the Center: Two Narratives-nya V.S. Naipaul, In the Name of Identity adalah sebuah pengakuan jujur Amin Maalouf ihwal konstruksi identitas dirinya yang kompleks, puspa warna, dan juga sarat gejolak. Ia adalah seorang Kristen Maronit yang lahir dan besar di bagian selatan Arab, tepatnya Lebanon. Di negeri yang mayoritas muslim itu, ia jelas menjadi minoritas. Yang menarik adalah ia sehari-hari berbicara dengan bahasa Arab; sebuah fakta yang secara unik mengikatnya dengan mayoritas orang di sana yang memakai bahasa tersebut dalam doa-doanya.

Pernah sekali waktu ia menyaksikan 20 mayat bergelimpang di luar apartemennya dalam Perang Saudara di Lebanon. Tapi ia tak mungkin memihak salah satu diantara faksi-faksi yang berseteru. Memihak salah satu berarti juga menyangkal anasir lain yang telah membentuk identitasnya. Maalouf akhirnya memilih menjadi seorang eksil dengan pergi dan hidup di Prancis. Lengkap sudah identitas dan riwayat hidupnya yang puspa warna dan kompleks itu.

Dengan menulis In the Name of Identiy, Maalouf ingin menunjukkan betapa sikap dan pendirian yang lapang menerima keragaman identitas akan menjadi suluh yang mampu merekatkan pelbagai komunitas dan budaya. Inilah modus yang dianggapnya bisa ‘menjinakkan’ potensi merusak identitas.

Ketika berbicara globalisasi, misalnya, sikap Maalouf moderat. Salah satu efek dari globalisasi adalah memiuhnya batas-batas, baik geografis, waktu hingga acuan tata nilai. Baginya, inilah saatnya untuk menghayati ‘afiliasi ganda’: mengidentifikasi diri pada tanah kelahiran (berikut bahasa, adat dan tata nilai) sekaligus terbuka untuk menerima kondisi hari ini berikut pengaruh yang dimunculkannya pada masing-masing individu atau kelompok.

Afiliasi ganda ini berarti (1) menyadari bahwa identitas kita bukan cuma diturunkan secara vertikal dari para moyang (warisan vertikal), melainkan juga dibentuk oleh pengaruh yang datang dari samping (warisan horizontal); sekaligus (2) memahami kalau anasir yang memengaruhi dan membentuk identitas itu juga beragam, tidak tunggal: bisa agama, bahasa, ras, istiadat, jenis kelamin, hingga afiliasi parpol. Kerap terjadi, semuanya itu bercampur baur membentuk sebuah kolase identitas.

Penghayatan identitas dengan cara demikian membawa kita pada model (pinjam konsepnya Mikhail Bakhtin) ‘eksotopi’: ketika kita menyadari posisi kita sebagai pewaris sebuah generasi atau kebudayaan, kita menerima integritas warisan itu, seraya membubuhinya secara aktif dengan suplemen baru yang, sengaja atau tidak, akan memunculkan dialog yang melanjutkan kreativitas. Dialog yang tak pernah susut antara warisan vertikal dan pengaruh horizontal. Semuanya dibentuk dan berubah sepanjang waktu. Dan dengan itulah kebudayaan berkembang, saling memengaruhi.

Secara cemerlang, Maalouf lantas menarik persoalan terbentuknya identitas ini ke area di mana penghayatan atas satu identitas bisa berubah dan bermacam-macam hasilnya. Maalouf banyak menyajikan contoh tentang itu. Jika pada tahun 1980-an, misalnya, kita menanyai seorang warga Republik Federal Bosnia, ia mungkin akan menjawab: Saya seorang Yugoslavia. Tapi jika orang yang sama ditanyai pada tahun 1990-an yang berdarah oleh konflik antara Bosnia dan Serbia, ia pasti akan menjawab: Saya seorang muslim Bosnia. Ini tamsil tentang berubahnya penghayatan atas identitas.

Terlahir sebagai perempuan di Oslo, misalnya, bisa jadi bukan persoalan penting. Tapi bagi seorang perempuan yang punya cita-cita tinggi, terlahir di Kabul yang dikuasai Taliban jelas menjadi persoalan. Bagi orang kulit hitam di Amerika, warna kulit bisa menjadi persoalan mendasar. Tapi bagi yang lahir di Kongo, warna kulit tidak relevan karena yang penting adalah ‘saya orang Hutu atau Tutsi’. Di Ambon, menjadi muslim atau Kristen mungkin masih menjadi persoalan penting. Tapi antara Turki dan suku Kurdi, identitas sebagai sesama muslim tak membikin konflik keduanya menjadi kurang berdarah. Persoalan ini bisa ditarik hingga ke area yang lebih luas: gembrot atau langsing, seorang republikan atau demokrat di Amerika, hingga antara fans klub Barcelona atau Madridista.

Jika demikian adanya, tanya Maalouf (h. 159), untuk apa mengangkat salah satu (dari sekian banyak) anasir yang membentuk identitas kita ke status yang lebih tinggi, dan menjadikannya sebagai instrumen pengucilan dan kadang sebagai senjata perang?

Menangkap jati (kesejatian dan keaslian) diri, akhirnya bisa jadi seperti ‘mencari garam di lautan’: ada di mana-mana tapi tak bisa dicacah lewat sebuah klasifikasi yang hitam-putih. Itulah sebabnya, James Baldwin dalam Notes of Native Soon (1984), pernah secara cerdas berujar jika ingin menyentuh identitas diri yang sesungguhnya, maka identitas justru harus dikenakan secara longgar. Bukankah jika pakaian dikenakan secara longgar kita bisa leluasa menyentuh bagian tubuh manapun yang kita inginkan?

Yang jadi masalah, dunia sekarang ini disesaki oleh bertebarannya ‘komunitas dan individu yang terluka’. Bagaimana seorang Sunni fanatik di Irak menyaksikan negerinya dibombardir Amerika atau seorang harus melewati pemeriksaan berlapis di bandara New York hanya karena ia berjenggot dan bergamis adalah sebuah kenyataan yang tak mudah dijinakkan oleh suara teduh Maalouf. Dunia telah menjadi, pinjam kata-kata Akbar S. Ahmed (2004), sebuah panggung ‘pasca-harkat’; situasi di mana harkat kelompok/komunitas dihayati dan diamalkan secara keras akibat kekalahan dan penghinaan yang datang bertubi-tubi.

Jika tidak diimbangi oleh keterbukaan yang juga tulus dari kelompok mayoritas yang memegang supremasi, maka seruan agar setiap orang menghayati identitasnya secara terbuka hanya akan dianggap sebagai tawaran untuk tunduk dan menyerah kalah. Di tengah banyaknya pertikaian yang mematikan, In the Name of Identity mungkin adalah sebuah suara waras yang langka. Tapi, ia juga bisa sia-sia dan tak berarti apa-apa.

Judul Buku: In The Name of Identity
Penulis: Amin Maalouf
Penerjemah: Rony Agustinus
Penerbit: Resist Book, Yogyakarta
Cetakan: I, Desember 2004
Tebal: 180 halaman