Monday, April 30, 2007

Di Gardu Kita Berjaga

Setiap orang punya ingatan dan kenangan ihwal gardu, termasuk seorang Ketua RT.

Dikisahkan, seorang Ketua RT yang baru terpilih merayakan kemenangannya dengan mendirikan sebuah gardu baru, tak peduli kalau RT yang dipimpinnya sudah punya lebih dari satu gardu. Seperti yang dilaporkan Abidin Kusno, penulis buku ini, seorang warga RT yang ia wawancarai sampai berkomentar: “Dengan gardu itulah pak RT akan diingat.”

Komentar ringan warga tersebut bisa menjadi pintu masuk dalam membahas buku Gardu: Penjaga Memori di Perkotaan Jawa karya Abidin Kusno, peneliti di Unversity of Britisih Colombia ini. Bukan hanya warga tersebut saja yang akan mengingat pak RT-nya melalui gardu, kita juga ternyata bisa mengingat banyak hal lewat gardu.

Dalam lacakan Abidin Kusno, gardu muncul sebagai dampak dari pembangunan jalan raya pos (Postweg) yang merentang dari Anyer di ujung barat Jawa hingga Banyuwangi di ujung timur Jawa. Jalan yang dibangun untuk memermudah transportasi (baik untuk keperluan pengiriman barang hingga pos) dari Batavia ke belahan timur dan barat Jawa itu dilengkapi dengan pendopo-pendopo yang dibangun sebagai tempat istirah dan tempat mengganti kuda. Pendopo inilah yang menjadi cikal dari gardu seperti yang kita kenal sekarang.

Pendopo di sepanjang Postweg, baik dari segi peristilahan maupun bentuk fisiknya, tentu saja bukan barang baru bagi orang-orang Jawa. Pada masa itu, pendopo dengan mudah dijumpai di bagian depan kediaman para bangsawan, termasuk juga di kraton-kraton Jawa. Dalam struktur kesadaran orang Jawa, pendopo menjadi zona pertemuan antara “ruang privat” (omah/rumah) dengan “ruang terbuka” (istilah “ruang publik” akan asing bagi orang Jawa ketika itu karena semua tanah dianggap milik para raja). Pendopo menjadi garis demarkasi antara penguasa (pemilik rumah) dengan wilayah luar.

Tetapi tak hanya menjadi garis demarkasi, pendopo seperti bisa kita jumpai di Kraton-kraton Jawa, menyembunyikan para sultan dan bangsawan dari penglihatan publik. Pendopo menjadi “situs arkeologi” di mana kekuasaan para raja dengan sengaja dipamerkan kemegahannya.

Gardu juga menjadi referensi historis ihwal bagaimana transformasi kesadaran orang Jawa terhadap apa yang disebut ruang. Sebelum diberlakukannya sistem tanam paksa, orang Jawa tak pernah mengenal batas-batas yang definitif dari desa atau pedukuhan. Setelah era tanam paksa, terlebih usai diberlakukannya Agrarisch Wet (Undang-undang Agraria) pada 1870, pemerintah kolonial mulai memetakan wilayah di Jawa sekaligus menetapkan batas-batas yang definitif dari tiap-tiap desa.

Dari sanalah gardu masuk ke dalam kesadaran orang Jawa, bukan semata sebagai tempat tetirah di pinggir jalan, tetapi menjadi bagian integral dari kesadaran mereka ihwal ruang. Menyusul penetapan batas-batas wilayah, demarkasi antara “wilayah kami” dan “wilayah mereka” pun menjadi konkrit. Dan agar batas-batas itu terjaga, didirikanlah gardu-gardu jaga.

Di masa revolusi, gardu menjadi bagian tak terpisahkan dari perlawanan revolusioner para pemuda kita yang tergabung dalam badan-badan ketentaraan, baik tentara reguler maupun milisi. Gardu menjadi pos tempat mereka menjaga wilayah-wilayah tertentu, terkadang hingga di pelosok-pelosok desa, kendati tidak jarang penduduk desa sendiri merasa jirih pada para pemuda revousioner yang penuh semangat namun brangasan dan kerap tak terkendali itu.

Pada masa Orde Lama, gardu dimaksimalkan secara simbolik dan fungsional sebagai tempat memobilisir semangat revolusi (pinjam kata-kata Soekarno) “belum selesai”. Dari gardu-gardu itulah, para warga bersama-sama mendengarkan orasi Soekarno ihwal arti pentingnya “mengganjang Malaysia dan antek-antek Nekolim” serta perlunya memobilisasi semua kekuatan revolusioner untuk merebut Irian Barat.

Ketika kekuasaan berganti, Orde Lama justru menggunakan gardu sebagai pos pertahanan dan pembasmian agen-agen revolusioner yang radikal. Lewat ide pertahanan sipil (hansip), gardu dengan segera memunyai nama baru: Pos Hansip. Kampanye pentingnya “bersih lingkungan” (bebas dari pengaruh komunis dan kaum ekstrimis kiri) digerakkan lewat gardu-gardu yang banyak di antaranya didirikan lewat bantuan pemerintah. Pos Hansip kemudian menjadi semacam kantor intelijen tingkat RT/RW yang selalu siap mengawasi keluar masuknya orang-orang tak dikenal, apalagi orang-orang asing yang menginap selama lebih dari 1 X 24 jam tanpa melapor.

Selain menjadi tempat menggalang solidaritas para simpatisan Megawati (yang kemudian dikuti oleh partai-partai lain), pada masa reformasi gardu justru menjadi penanda penting ihwal tiadanya keamanan di perkotaan. Penghancuran toko dan tempat usaha etnis Tionghoa memunculkan gardu-gardu baru yang sepenuhnya digunakan untuk mengamankan lingkungan masing-masing.

Tak jarang, sebuah rumah mewah masih merasa perlu mendirikan gardu di halaman rumahnya. Bagi orang-orang kaya, gazebo perlu didirikan tak semata sebagai tempat para satpam bisa mengaso, tapi juga untuk menegaskan kemewahan rumahnya.

Gardu akhirnya menjadi situs di mana pelbagai “kekuatan” berinteraksi, saling bersinggungan, saling memberi pengaruh. Pengertian dan persepsi ihwal gardu dibentuk pelbagai aktor dan konteks. Belanda, etnis Tionghoa, para pemuda revolusi, Soekarno, Soeharto, Megawati, lelaki di desa, hinga para developer real estate, ikut menganyam arti dan posisi gardu dalam struktur kesadaran.

Dan tiap-tiap dari kita, akhirnya, juga punya persepsi yang berbeda ihwal gardu. Bagi para bangsawan dulu atau orang-orang kaya sekarang, gardu menjadi arena pamer kemegahan dan kekuasaan, seperti bagi pak RT yang berharap gardu yang dibangunnya bisa menjadi museum tempat warga bisa mengenang dirinya. Bagi warga Tionghoa, gardu menjadi pemantik traumatik atas pelbagai kerusuhan dan penjarahan.

Bagi laki-laki di Jawa, gardu menjadi tempat nyaman untuk minum kopi, ngobrol, nonton bola dan menggodai para perempuan yang lewat. Sementara bagi perempuan, gardu justru menjadi tapal batas ihwal penyingkiran mereka dari ruang publik. Bagi para pendukung Megawati, gardu menjadi altar pemujaan seorang Soekarno. Bagi para tentara yang menjadi Babinsa (Badan Pembina Desa), gardu menjadi tengara ihwal masih keliarnya ancaman komunis dan orang-orang radikal.

Dan di atas semua itu, gardu pada akhirnya menjadi tetenger paling pas dari gagasan ihwal dunia sebagai tempat berbahaya, tempat di mana kejahatan melela di mana saja, siap mengancam kapan saja. Karena itulah kita beramai-ramai mendirikan gardu. Di sanalah, di gardu itu, kita berjaga. Dan di gardu yang mewah pulalah, orang-orang kaya memproklamirkan kemewahan dan kejayaannya.

Judul Buku: Gardu: Penjaga Memori di Perkotaan Jawa
Judul Asli: Guardian of Memories: Gardu in Urban Java
Penulis: Abidin Kusno
Penerjemah: Chandra Utama
Penerbit: Ombak, Yogyakarta
Terbitan: I, Januari 2007
Halaman: xv + 154 halaman