Wednesday, May 30, 2007

Pribumi=Kera!

Sembari menunggu dimulainya pertandingan final Champions antara AC Milan dan Liverpool, saya melanjutkan membaca buku “Dutch Culture Overseas” karya Dr. Frank Gouda. Saya menemukan keasyikan yang aneh sewaktu membaca bab 4 buku tersebut.

Bab 4 ini memaparkan bagaimana orang-orang Belanda (sekaligus juga orang Eropa) membangun pemahaman ihwal siapa sebenarnya “orang-orang pribumi”. Secara ringkas, bab sepanjang 75 halaman ini menguraikan bagaimana prasangka rasial terhadap orang-orang pribumi dibangun. Dengan menelusuri artikel-artikel, catatan perjalan, guntingan berita, catatan harian, surat-surat dan novel-novel, penulisnya mencoba memaparkan betapa “rendahnya” orang-orang pribumi di mata orang-orang Eropa kala itu.

Bab ini menarik secara intelektual karena penulisnya mengkonfirmasi semua kutipan-kutipan yang ia temukan dengan teori-teori evolusi di bidang biologi, dari mulai Darwin, Ernest Haeckal, Herbert Spencer, hingga Lamarck.

Tapi bab ini juga lumayan menjengkelkan karena dipenuhi kutipan-kutipan yang menceminkan “rasialisme” orang-orang Eropa di Hindia Belanda dalam bentuk dari yang paling kasar hingga yang dibungkus retorika ilmu pengetahuan modern.

Contoh “kekasaran rasialis” yang dibungkus dengan retorika ilmiah bisa kita temukan dari kutipan psikiater Belanda yang bekerja di Jawa pada 1920-an. Dia bilang: “Laki-laki dan perempuan Jawa dewasa masih memperlihatkan kelemahan psikologis khas anak-anak karena kaum inlanders itu masih berada pada tahap awal perkembangan evolusi mereka.”

Dalam kosa kata Dawinian, kutipan itu bisa dibaca kurang lebih begini: “Para inlanders itu masih berada pada tahap transisi sebagai kera besar yang memulai proses menjadi homo sapiens (manusia).”

Simak juga kutipan novel PA Daum berjudul Nummer Elf (Nomer Sebelas) yang menjadi ilustrasi pandangan rasialis orang-orang Eropa yang sengak: “Siapa yang berani memanggil mahuk-mahluk ini (pribumi)? Yang matanya lebih menyerupai kera daripada orang-orang berkulit merah di (Amerika Utara) yang jinak.” (pribumi di sini bahkan disebut lebih mirip kera ketimbang orang-orang Indian di Amerika)

Coba bandingkan kutipan-kutipan itu dengan pernyataan Lamarck yang berbunyi: “Ras-ras yang lebih rendah secara psikologis lebih dekat dengan mamalia sejenis kera dan anjing daripada orang-orang Eropa yang beradab!”

Kutipan Lamarck itu saya baca dari buku Richard Dawkins berjudul “Sungai Firdaus” yang diterbitkan Gramedia setahun lalu. Ketika membaca kutipan Lamarck itu beberapa bulan lalu, saya tak merasakan apa-apa. Biasa saja. Datar. Tapi, ketika saya ingat kutipan itu setelah membaca buku Frank Gouda yang memberikan konteks historis bagaimana pandangan Darwinian macam itu beroperasi di Hindia Belanda, ujung-ujungnya saya merasa sedkit jengkel juga. (Lha gimana gak jengkel, simbahku masih dianggap dekat dengan kera je? Hehehehe…)

Saya jadi mengerti kenapa para pejabat kolonial dulu, juga koran-koran pada awal abad 20 di Hindia Belanda, senang betul dan bahkan penuh semangat melaporkan kesaksian orang-orang yang bertemu dengan “manusia kerdil” di belantara Sumatera di sekitar Jambi.

Saya menyimpulkan, orang-orang Eropa di Hindia Belanda ternyata masih terobsesi dengan konsep “missing link” dalam teori Darwin dan bahkan sampai pada tahapan mencoba meyakini bahwa ada kemiripan yang sahih antara manusia pribumi dengan kera-kera besar yang ditemukan di belantara Sumatera dan Kalimantan.

Saya membayangkan bagaimana jengkelnya perasaan para pemimpin pergerakan kalau membaca kutipan-kutipan itu. Sayangnya, satu-satunya kutipan dari pemimpin pergerakan nasional yang saya temukan pernah menyinggung-nyinggung pandangan Darwinian itu justru seperti menerima saja dan bukannya marah.

Ya, saya ingat pernah mambaca kutipan Tjiptomangoenkoesoemo yang ada menyebut-nyebut proses evolusi itu. Dalam salah satu pidatonya di Volksraad yang (kalau saya tidakk salah) membicarakan tentang Bali, seorang Tjiptomangoenkoesoemo yang dikenal berani dan punya nyali yang tantang-menantang, pernah menyebut kemerdekaan sebagai “kondisi utama dan penting bagi proses evolusi kaum pribumi”.

Saya senyum-senyum kecut gimana gitu kalau ingat kutipan Tjipto itu.

Tapi saya juga membayangkan: Lamarck juga pasti senyum-senyum penuh kemenangan kalau tahu hal ini.

Kalau Pram, saya yakin dia adem-adem saja. Sebab Pram sepertinya sudah sangat sadar hal itu. Jangan heran jika Pram menaman tokoh utama dari kuartet novel Pulau Buru dengan sebutan Minke (plesetan dari “Monkey”).

Penulis buku ini, DR. Frank Gouda, menyebut pilihan Pram itu sebagai kemampuan menertawakan yang canggih.

Walah… walah!

Judul Buku: Durch Culture Overseas
Penulis: DR. Frank Gouda
Penerbit: Serambi, Jakarta
Cetakan: I, Maret 2006
Tebal: 365 halaman