Wednesday, May 30, 2007

Harry Roesli Melawan Rezim Agelaste

Tulisan-tulisan Harry Roesli seringkali terasa sebagai sebuah simptom. Dalam kamus kedokteran, simptom merujuk pada situasi adanya perubahan atau keadaan khusus kondisi tubuh yang menunjukkan adanya suatu penyakit, semacam gejala penyakit. Gejala penyakit yang ditunjukkan tulisan-tulisan Harry Roesli adalah penyakit yang secara akut dan kronis sedang menjangkiti jiwa dan raga bangsa Indonesia, terkhusus jiwa para elit politik Indonesia.

Seperti yang secara eksplisit dinyatakan Harry Roesli dalam esai berjudul Republik Funky (dan secara implisit selalu muncul di nyaris semua esai-esainya), elit-elit politik negeri ini sedang dijangkiti ‘penyakit cuek’. Akibat ‘penyakit cuek’ ini, elit-elit menjadi cuek dalam segala hal: cuek pada nurani, konstituen, protes-protes dan pada kesengsaraan rakyat. Anehnya, mereka tidak akan pernah cuek untuk kepentingan kelompoknya dan kepentingan dirinya sendiri. Inilah republik yang sudah, tulisnya (h. 53), “menjadi Republik Cuek, alias Republik Funky!”

Dalam situasi demikian, rakyat tentu saja berada dalam kondisi serba salah. Diam saja tanpa menyalurkan kejengkelan dan ketidakpuasan jelas bukan pilihan yang baik karena menahan kejengkelan terus menerus bisa membikin jiwa jadi oleng. Tapi, teriak-teriak di jalanan juga tak akan membikin kondisi membaik.

Di sinilah tulisan-tulisan Harry Roesli menawarkan jalan alternatif: humor! Daripada diam terus tapi bisa membikin gila atau teriak-teriak di jalan membikin kerongkongan haus dan benjut-benjut digebuki tentara, maka humor menjadi alternatif. Dengan humor, tepatnya menertawakan ‘kobodohan dan kelucuan’ para elit, rakyat (termasuk Harry Reosli sendiri) bisa menyuarakan kejengkelan dan protes-protesnya tanpa harus bersitegang leher dengan para polisi, sekaligus juga bisa terus memertahankan (setidaknya) kesehatan jiwa di tengah kesakitan ekonomi yang terus-terusan mendera.

Inilah yang membikin posisinya dalam jagat kepenulisan negeri ini terbilang langka. Tidak banyak penulis di negeri ini yang mampu menulis dengan bobot intelektual yang tinggi tapi juga mampu memancing gelak tawa. Apa yang dilakukannya itu juga menunjukkan satu hal: tulisan yang cerdas itu tak harus membikin jidat berkerut.

Saya menganggap buku Republik Funky: Asal Usul Harry Roesli sebagai milestone yang menandai ikhtiar Harry Roesli yang terus menerus mengeksplorasi potensi kejenakaan yang dimungkinkan dan disediakan oleh bahasa Indonesia. Potensi itu ia angkat dengan banyak cara. Yang paling sering dilakukannya adalah dengan plesetan-plesetan. Dari mulai pepatah, idiom, akronim hingga memelesetkan syair lagu nasional. Harry Roesli adalah masterpiece untuk perkara ini.

Yang juga menjadi kekhasan tulisan-tulisan Harry Roesli adalah semua kejenakaan-kejenakaan itu dimunculkannya dengan menggunakan mulut atau sudut pandang rakyat jelata yang mengalami ketertindasan dalam semua hal: dari ekonomi sampai intelektual. Dengan cara itulah Harry Roesli telah menunjukkan dua hal sekaligus. Pertama, komitmennya yang tanpa cadang untuk terus memihak dan menyuarakan suara rakyat jelata.

Kedua, Harry Roesli juga menunjukkan dengan baik bahwa di tengah kesulitan yang makin menghimpit, rakyat jelata tak pernah kehabisan siasat untuk melakukan perlawanan. Dengan menertawakan para elit, memosisikan mereka tak ubahnya para pelawak Srimulat, rakyat sesungguhnya telah melakukan aktivitas yang secara substansial sama ‘subversifnya’ dengan kemalasan yang diperbuat para buruh pribumi yang bekerja di perkebunan kolonial atau prilaku para kawula yang kentut diam-diam ketika sedang membungkuk tiap kali para pejabat melintas. Prilaku macam itulah yang oleh James C. Scott maksudkan sebagai a hidden transcript, narasi yang berisi pelbagai aktivitas ‘perlawanan kecil-kecilan’.

Dan bisa ditebak, para elit politik yang memegang supremasi itu selalu tak betah dengan siasat perlawanan kecil-kecilan ini. Mereka selalu membalas ‘perlawanan kecil-kecilan’ itu dengan strategi yang kelewat serius, seakan-akan sedang berhadapan dengan setangsi pemberontak bersenjata yaitu dengan popor bedil dan bui. Pernah kita dengar ada aktivis yang ditangkap hanya karena melakukan happening art dengan menenteng gambar Megawati yang telah diberi kumis dan cambang. Salah satu majalah ibukota bahkan dituntut karena membikin hidung Akbar Tandjung jadi panjang bak hidung Pinokio jika kedapatan berdusta. Harry Roesli sendiri pernah ‘kena batunya’ ketika secara jenaka memelesetkan lagu Garuda Pancasila.

Para elit politik yang tak punya selera humor dalam menanggapi ‘perlawanan sehari-hari’ yang jenaka itulah yang didakwa oleh Milan Kundera (The Art of Novel, 2002: 223) sebagai kaum agelaste (dari bahasa Yunani artinya seseorang yang tak bisa tertawa). Kaum agelaste tak pernah mampu menertawakan diri sendiri. Mereka hanya bisa menertawakan kesengsaraan orang lain. Padahal, tanpa adanya kemampuan untuk menertawakan diri, kata Kundera, tak ada kemajuan yang bisa dicapai oleh kemanusiaan.

Tentu saja tidak pada tempatnya jika berharap kejenakaan tulisan Harry Roesli ini mampu melongsorkan sebuah rezim agelaste. Seperti sifat semua ‘perlawanan kecil-kecilan’ lainnya, tulisan-tulisan Harry Roesli tak mungkin mampu melakukan itu. Kelewat berat. Sebab menurut hemat saya, pembebasan yang lahir dari kejenakaan dan bentuk ‘perlawanan kecil-kecilan’ itu tidak merupakan pembebasan dalam pengertian fisik apalagi struktural-institusional, melainkan pembebasan di area psikologi atau kejiwaan. Semacam psikologi pembebasan. Begitu kira-kira.

Judul Buku: Republik Funky: Asal Usul Harry Roesli
Penulis: Harry Roesli
Penerbit: Penerbit Buku KOMPAS
Cetakan: I, Maret 2005
Tebal: xx + 266 halaman